
Oleh: Bernard Simamora
Bayangkan kamu sedang berkendara di jalan raya. Di satu sisi ada rambu yang menyuruhmu lurus, tapi di sisi lain ada petugas yang mengarahkanmu belok kanan. Kamu bingung, harus ikut yang mana? Nah, kebingungan seperti itu juga sering terjadi dalam dunia hukum. Itulah yang disebut antinomi hukum—dua aturan hukum yang sah, tapi saling bertentangan.
Fenomena ini bukan cuma bikin pusing rakyat biasa, tapi juga para hakim, jaksa, polisi, dan bahkan pejabat pemerintah. Di banyak kasus, antinomi bisa bikin keadilan jadi bias, hukum jadi tidak pasti, dan penegakan hukum rawan diselewengkan.
Apa Itu Antinomi?
Secara sederhana, antinomi hukum adalah pertarungan antara dua aturan hukum yang kedudukannya sama kuat. Misalnya:
- UU Lingkungan hidup melarang eksploitasi hutan.
- Tapi UU Minerba mengizinkan pertambangan di wilayah itu.
Dua-duanya sah. Dua-duanya resmi. Tapi arah kebijakan jadi bertolak belakang.
Contoh Nyata di Sekitar Kita
- Perda vs UU Nasional
Banyak Peraturan Daerah dibuat untuk melindungi pasar tradisional dari gempuran minimarket. Tapi aturan ini sering digugat karena dianggap melanggar Undang-Undang yang pro investasi. Siapa yang benar? Tergantung siapa yang punya kuasa.
- Hukum Adat vs Hukum Negara
Masyarakat adat di Papua, Kalimantan, atau Baduy sering berpegang pada hukum leluhur. Tapi ketika tanah mereka diberi izin konsesi kepada perusahaan, hukum negara memaksa mereka pergi. Dua hukum, dua dunia, satu konflik.
- Kasus Tanah di Jawa Barat: Sertifikat Hak Milik vs Surat Warisan Adat
Di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, banyak terjadi konflik agraria karena adanya antinomi antara dokumen legal pertanahan (sertifikat hak milik) dan surat-surat waris berbasis adat atau lokal. Kelompok mafia tanah memanfaatkan tumpang tindih ini.
Contohnya, ada kelompok yang mengklaim tanah milik warga dengan membawa surat keterangan ahli waris (SKAW) versi desa, yang ternyata dibuat bertahun-tahun setelah tanah tersebut bersertifikat atas nama orang lain. Meski sertifikat resmi dimenangkan di pengadilan, proses hukum bisa berlarut-larut karena surat waris tersebut tetap diakui secara administratif oleh sebagian pejabat lokal.
Inilah bentuk antinomi hukum di lapangan: surat yang sah secara adat, tetapi melawan dokumen yang sah secara negara. Akibatnya? Warga terancam kehilangan hak tanah, hanya karena dua aturan hidup berdampingan tapi saling bertabrakan.
Kenapa Ini Jadi Masalah Besar?
Karena hukum harusnya memberi kepastian dan keadilan. Tapi kalau satu aturan bisa dibatalkan oleh aturan lain yang sama kuatnya, hukum jadi seperti panggung sandiwara: tergantung siapa yang main, bukan pada naskahnya.
Dalam praktiknya, antinomi sering dijadikan celah:
- Untuk main aman, pejabat tinggal pilih aturan yang paling menguntungkan dia.
- Untuk berpolitik, aturan bisa ditarik ulur tergantung siapa yang sedang berkuasa.
- Untuk mempersulit rakyat, masyarakat jadi korban kebingungan dan tumpang tindih aturan.
Solusinya Apa?
- Sederhanakan Aturan
Indonesia punya lebih dari 40 ribu peraturan dari pusat sampai daerah. Banyak yang saling tumpang tindih. Kita butuh diet regulasi. Regulasi harus dikaji ulang dan dipangkas secara berkala. - Perjelas Hirarki Hukum
Harus jelas mana aturan yang lebih tinggi, mana yang harus tunduk. Ini bisa bantu menghindari konflik antar norma. - Hakim dan Aparat Harus Punya Nurani
Hukum memang penting. Tapi keadilan lebih penting. Dalam kondisi aturan saling bertabrakan, aparat hukum harus berani menafsirkan hukum dengan hati nurani dan logika yang sehat. - Keterlibatan Publik
Masyarakat harus aktif mengawasi dan mengkritisi produk hukum yang bermasalah. Kalau tidak, antinomi akan terus jadi senjata diam yang membungkam suara keadilan.
Penutup: Saatnya Hukum Membela yang Lemah, Bukan yang Berkuasa
Antinomi dalam hukum adalah tantangan nyata dalam kehidupan bernegara. Ia bukan sekadar soal teknis atau perbedaan pasal. Di balik pertarungan dua aturan, sering tersembunyi pertarungan nilai, kepentingan ekonomi, bahkan konflik ideologi.
Kita tidak bisa berharap hukum berjalan lurus kalau jalannya bercabang di banyak tempat. Sudah waktunya kita bicara serius tentang bagaimana hukum bekerja bukan hanya untuk yang kuat, tapi juga untuk yang kecil, yang sunyi, dan yang selama ini sering kalah oleh sistem.