Beranda Artikel Antinomi Hukum: Ketika Rakyat Jadi Korban Duel Aturan

Antinomi Hukum: Ketika Rakyat Jadi Korban Duel Aturan

0
Ketika hukum jadi tumpang tindih, muncullah ruang gelap. Mafia tanah paling pintar memanfaatkannya. Mereka pakai surat waris fiktif, seolah mewakili ahli waris sah, lalu ajukan gugatan

Oleh: Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.

Di Indonesia, bukan hanya satu hukum yang berlaku, tapi kadang dua atau lebih—dan ironisnya, saling bertabrakan. Inilah yang disebut antinomi hukum. Satu aturan bilang A, aturan lain bilang B. Dua-duanya sah, tapi saling meniadakan. Yang bingung? Rakyat. Yang diuntungkan? Pihak yang paham celah—biasanya, yang punya kuasa atau akses.

Kasus ini bukan fiksi. Ia nyata. Terjadi di tanah-tanah sengketa, proyek-proyek investasi, dan bahkan urusan warisan keluarga. Di Jawa Barat misalnya, ada tanah bersertifikat yang tiba-tiba digugat pakai surat waris adat. Sertifikat diterbitkan BPN, tapi surat waris dikeluarkan desa. Dua-duanya legal secara administratif, tapi dipakai untuk saling menyerang di pengadilan.

Mafia Tanah Menari di Tengah Antinomi

Ketika hukum jadi tumpang tindih, muncullah ruang gelap. Mafia tanah paling pintar memanfaatkannya. Mereka pakai surat waris fiktif, seolah mewakili ahli waris sah, lalu ajukan gugatan ke tanah yang sudah bersertifikat puluhan tahun. Kalau hakim bingung, yang menang bisa saja yang paling lihai bermain narasi dan dokumen.

Yang tragis, dalam kasus seperti ini, aparat hukum sering tak berani berpihak. Mereka lebih memilih ‘jalan aman’—ikuti prosedur, baca pasal, tapi abaikan konteks. Padahal keadilan nggak cuma soal mana pasal yang benar, tapi juga siapa yang paling dirugikan.

Ketika Hukum Kehilangan Arah

Kita terlalu banyak punya aturan, tapi miskin keberanian untuk menyelaraskannya. Akibatnya, dalam kasus antinomi, hukum berubah jadi adu tafsir. Bukan lagi alat keadilan, tapi alat kepentingan.

Contoh ekstrem: Undang-Undang Lingkungan melarang penebangan hutan sembarangan. Tapi UU Cipta Kerja justru mempermudah izin usaha termasuk di kawasan hutan. Dua-duanya sah, tapi implementasinya bisa saling gigit. Akibatnya? Lingkungan rusak, rakyat protes, investor bingung, dan negara diam.

Negara Harus Berpihak

Ini saatnya negara berhenti bersikap netral. Netralitas dalam kondisi konflik hukum bukan solusi, tapi pengkhianatan terhadap keadilan. Aparat harus berani menafsirkan hukum secara etis, bukan hanya tekstual.

Hakim, jaksa, dan pejabat administrasi harus paham bahwa hukum bukan mesin kaku. Ia harus berpihak—pada korban, pada yang lemah, pada keadilan substantif. Jangan biarkan prosedur membungkam nurani.

Jangan Lagi Sembunyi di Balik “Benturan Aturan”

Antinomi hukum bukan alasan untuk tak bertindak. Ia justru sinyal bahwa sistem hukum kita butuh pembenahan serius. Harmonisasi aturan itu wajib. Tapi lebih dari itu, dibutuhkan keberanian moral aparat penegak hukum untuk menyaring mana yang adil dan mana yang sekadar legal.

Karena kalau hukum cuma dijadikan ladang tafsir tanpa arah, maka antinomi bukan cuma konflik norma—tapi jalan sunyi menuju pembusukan keadilan. *