Seusai Kejaksaan Agung dihujani berbagai ”malapetaka” yang amat menghinakan, dari Kampus Undip, Semarang, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengumandangkan kembali teriakan perang (battle cry), ”Jatuh untuk bangun lagi. Mati satu tumbuh seribu” (Suara Merdeka, 5/9/2008).
Pada detik-detik yang menghinakan dan memalukan menyusul kejadian itu, Jaksa Agung berpikir untuk mengundurkan diri karena dirinya adalah pemimpin tertinggi kejaksaan Indonesia dan telah gagal membina para jaksa. Tetapi sesudah direnungkan dan dipikirkan dua kali, muncul semangat untuk bangkit kembali melawan korupsi.
Dari pengalaman memalukan itu, Jaksa Agung kini membentuk sepuluh satuan khusus, yaitu Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satsus PPTPK). Disebut khusus karena personelnya direkrut dari 50 jaksa ”miskin”, ”tahan banting” dan ”tak doyan duit”. ”Jika usaha ini pun gagal, saya tidak tahu lagi harus berbuat apa, ya mundur saja,” kata Jaksa Agung.
Kegigihan Elliot Ness
Kegigihan Jaksa Agung mengingatkan upaya Elliot Ness, pegawai Departemen Keuangan Amerika Serikat di Chicago. Ia amat bersemangat untuk melawan berbagai kejahatan yang dilakukan oleh Al Capone, sang mafioso pada tahun 1930-an. Capone tidak hanya melakukan berbagai kejahatan, tetapi sudah mencengkeram kota Chicago. Untuk menutupi kejahatan yang dilakukan—seperti penyelundupan, teror, pembunuhan—Capone mengendalikan dan menyuap siapa saja, mulai dari polisi, juri pengadilan, wali kota, hingga hakim, dan lainnya. Ia bahkan membentuk divisi hukum untuk meloloskan diri dari jerat hukum.
Elliot Ness lalu merekrut beberapa orang terpilih dari kepolisian dan departemen keuangan, persis seperti Jaksa Agung merekrut jaksa-jaksa miskin yang tahan banting. Kelompok Ness itu dikenal dengan nama The Untouchables, yaitu mereka yang tidak dapat dijamah oleh geng Al Capone. Pada saat orang lain sudah menyerah, justru Ness dan teman-temannya bangkit menantang Capone yang keji itu.
Ada beberapa persamaan antara ”The Untouchables” Ness dan ”Satuan Khusus” Jaksa Agung Hendarman. Mereka menempatkan diri sebagai satuan dan kekuatan eksklusif di tengah iklim korup (di Indonesia) dan kekuatan hitam Capone (di Chicago). Pasukan Hendarman dan Elliot juga terdiri dari orang-orang terpilih yang tidak tercemar oleh kekuatan jahat dan korup di luarnya.
Inspirasi
Apa yang saya kemukakan berikut ini semoga menjadi inspirasi bagi Jaksa Agung Hendarman. Ness bertindak tidak kepalang tanggung, bahkan sering di luar cara biasa, meskipun AS adalah sebuah negara demokrasi dan negara hukum. Setiap kali pasukannya bertindak luar biasa, ia selalu berkata ”kita ada di Chicago”. Maksudnya, untuk melawan geng Capone, kita harus bertindak dengan gaya Chicago pula. Ini menggambarkan, suasana hitam dan korup Chicago memberinya legitimasi untuk berbuat di luar cara-cara biasa (beyond the call of duty and rules).
Puncaknya adalah saat Ness meneror hakim yang mengadili Capone dengan mengatakan, ia memiliki bukti hakim itu sudah disuap oleh Capone. Padahal, saat itu Ness hanya menggertak. Para juri pengadilan Capone memang sudah disuap semua, tetapi hakim itu sebetulnya tidak. Teror Ness berhasil dan hakim yang ketakutan itu akhirnya mengganti juri yang sudah disuap dengan juri lain, yang kebetulan sedang bersidang untuk perkara lain, di ruang sebelah dan Capone pun bertekuk lutut.
Tidak tanggung-tanggung
Mengingat hal ini merupakan usaha yang konon terakhir, ada beberapa pesan untuk Jaksa Agung agar tidak tanggung-tanggung dengan proyek Satsus PPTPK. Sesudah membentuk 10 satsus yang terdiri dari jaksa ”miskin dan tahan banting”, maka pasukan itu juga perlu dibekali tip untuk berani bertindak luar biasa. Alasan besar, untuk—jika perlu—bertindak luar cara biasa adalah para koruptor di Indonesia sudah mengkhianati dan mencederai konsep keadilan menurut Undang-Undang Dasar 1945. Mereka tidak hanya ”merugikan keuangan negara, tetapi sudah mencederai Undang-Undang Dasar 1945”.
Teringat pula kata-kata Prof Taverne, ”berikan kepadaku jaksa dan hakim yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun saya dapat membuat putusan yang baik”. Versi Indonesia dari Taverne, menurut Jaksa Agung Hendarman, adalah ”berikan kepadaku jaksa-jaksa yang miskin dan tahan banting, maka di tengah iklim yang korup ini pun saya bisa menegakkan hukum dengan baik”.
Jaksa Agung Hendarman, jangan ragu bertindak! Korupsi di Indonesia yang sudah menimbulkan kerusakan amat besar dan saatnya dihadapi secara progresif oleh personel hukum yang luar biasa, dengan cara luar biasa pula. Jika kita serius ingin memberantas korupsi, jangan ada upaya mengganggu dan mementahkan langkah progresif itu.
Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
Sumber : Kompas