Majalahukum.com – Restorative justice bukanlah sebuah pasal dalam hukum pidana, melainkan merupakan suatu pendekatan atau filosofi dalam menangani kejahatan.
Restorative justice adalah pendekatan dalam menangani akibat suatu kejahatan atau konflik yang berfokus pada perbaikan kerusakan yang diakibatkan kepada korban dan masyarakat daripada hanya mengutamakan hukuman terhadap pelaku.
Prinsip-prinsip inti dari restorative justice didasarkan pada keyakinan bahwa kejahatan bukan hanya pelanggaran terhadap hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap orang dan hubungan antarindividu.
Pendekatan ini bertujuan untuk mempertemukan semua pihak yang terdampak oleh suatu tindakan kriminal, termasuk korban, pelaku, dan masyarakat, untuk bersama-sama mencari solusi dan penyembuhan.
Fitur-fitur utama dari restorative justice meliputi:
- Dialog dan Komunikasi: Restorative justice mendorong komunikasi terbuka antara semua pihak yang terlibat. Ini bisa melibatkan pertemuan tatap muka yang difasilitasi oleh mediator yang terlatih, yang memungkinkan korban untuk menyatakan perasaan mereka, mengajukan pertanyaan, dan mencari jawaban langsung dari pelaku.
- Tanggung Jawab dan Pertanggungjawaban: Pelaku didorong untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan memahami dampak perilaku mereka pada orang lain. Dengan menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka dan memberikan ganti rugi, mereka memiliki kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam proses penyembuhan.
- Penyembuhan dan Dukungan: Fokus restorative justice adalah memperbaiki kerusakan dan memenuhi kebutuhan korban. Hal ini bisa meliputi dukungan emosional, restitusi, atau bentuk-bentuk bantuan lainnya untuk membantu dalam pemulihan mereka.
- Keterlibatan Masyarakat: Masyarakat berperan aktif dalam proses restorative justice. Anggota masyarakat dapat diundang untuk berpartisipasi dalam diskusi, memberikan dukungan kepada korban, dan membantu mengintegrasikan pelaku kembali ke masyarakat.
- Reintegrasi dan Rekonsiliasi: Tujuan restorative justice bukan hanya menghukum pelaku tetapi juga mempromosikan reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Melalui proses ini, tujuannya adalah untuk membangun kembali hubungan dan menciptakan rekonsiliasi di antara semua pihak yang terlibat.
Praktik restorative justice dapat berbentuk mediasi antara korban dan pelaku, konferensi kelompok keluarga, atau lingkaran komunitas. Pendekatan ini telah diterapkan dalam sistem peradilan pidana, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan lain di mana konflik dan kerusakan terjadi.
Para pendukung restorative justice berargumen bahwa pendekatan ini menawarkan cara yang lebih berbelas kasih dan efektif dalam menangani pelanggaran, karena berusaha mengatasi akar penyebab perilaku kriminal dan mengurangi kemungkinan ulang tindak kejahatan.
Penerapan restorative justice dalam tindak pidana bukan berarti mengabaikan hukuman atau akuntabilitas. Dalam beberapa kasus, sistem peradilan pidana formal tetap diperlukan untuk menghukum pelaku kejahatan yang serius.
Akan tetapi, restorative justice dapat digunakan sebagai alat yang efektif dalam kasus-kasus yang lebih ringan atau dalam situasi di mana pendekatan tradisional mungkin tidak mencapai keadilan atau pemulihan yang diharapkan.
Perlu diingat kembali, bahwa restorative justice tidak cocok untuk semua kasus dan mungkin tidak menggantikan tindakan hukuman tradisional dalam semua situasi. Pendekatan ini berfungsi dengan baik ketika korban dan pelaku mau berpartisipasi dengan sukarela dan masyarakat sekitar mendukung proses tersebut.
The post Memahami Restorative Justice dalam Tindak Pidana first appeared on Majalah Hukum.