Beranda Klinik Hukum Ujaran Kebencian di Media Sosial dan Konsekuensi Hukumnya

Ujaran Kebencian di Media Sosial dan Konsekuensi Hukumnya

Di era digital yang serba cepat ini, media sosial telah menjelma menjadi ruang publik baru tempat bertemunya ragam opini, ekspresi, dan komunikasi lintas batas. Namun, di balik kemajuan teknologi informasi, media sosial juga menjadi ladang subur bagi munculnya ujaran kebencian (hate speech) yang kian marak. Fenomena ini bukan hanya menimbulkan keresahan sosial, tetapi juga berpotensi menjadi pemicu konflik horizontal, bahkan dapat berbuntut pada proses hukum yang serius.

Apa yang Dimaksud dengan Ujaran Kebencian?

Ujaran kebencian merujuk pada ekspresi yang menyerang, merendahkan, atau menghasut kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan identitas tertentu seperti agama, ras, etnis, gender, orientasi seksual, kewarganegaraan, atau asal-usul sosial. Di Indonesia, konsep ujaran kebencian memiliki cakupan yang luas dan telah diatur dalam berbagai instrumen hukum, di antaranya:

  1. Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) — yang melarang penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
  2. Pasal 156 dan 157 KUHP — yang mengatur tentang pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap golongan tertentu.
  3. Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2013 tentang Penanganan Ujaran Kebencian — yang memberi pedoman teknis bagi aparat dalam mendeteksi dan menindak ujaran kebencian di berbagai media, termasuk platform digital.

Ragam Bentuk Ujaran Kebencian di Media Sosial

Ujaran kebencian tidak selalu disampaikan secara eksplisit. Sering kali ia muncul dalam bentuk sindiran, meme, video pendek, komentar sarkastik, bahkan hoaks yang dikemas seolah sebagai fakta. Berikut adalah bentuk-bentuk umum ujaran kebencian yang kerap ditemukan di media sosial:

  1. Ujaran Bermuatan SARA

Ini adalah bentuk ujaran kebencian yang paling umum dan paling sensitif di masyarakat Indonesia. Contohnya meliputi penghinaan terhadap suatu suku tertentu, pelecehan agama, atau pelabelan negatif berdasarkan ras. Misalnya, komentar seperti “agama X itu penyebar kebodohan” atau “orang suku Y tidak layak jadi pemimpin” merupakan bentuk pelanggaran serius.

  1. Pelecehan Berbasis Gender dan Seksualitas

Media sosial sering kali menjadi ruang kekerasan verbal terhadap perempuan, LGBTQ+, atau kelompok rentan lainnya. Contohnya adalah komentar seksis seperti “perempuan tidak pantas jadi pemimpin” atau “LGBT itu penyakit yang harus dibasmi”. Ujaran seperti ini dapat diproses secara hukum melalui UU ITE dan bahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) apabila mengandung unsur pelecehan atau intimidasi.

  1. Penghasutan dan Ajakan untuk Bertindak Kekerasan

Bentuk ini biasanya muncul dalam ujaran seperti “bakar rumah ibadah mereka” atau “kita harus usir kelompok ini dari Indonesia”. Seruan semacam ini termasuk dalam kategori penghasutan yang sangat berbahaya karena bisa mendorong tindakan kriminal di dunia nyata.

  1. Penyebaran Hoaks yang Memicu Kebencian

Informasi palsu atau berita bohong yang menyerang suatu kelompok sering kali menyebar luas karena disamarkan sebagai fakta. Misalnya, sebuah unggahan palsu yang menyebut kelompok etnis tertentu sebagai dalang kriminalitas atau pandemi. Hoaks semacam ini dapat dijerat dengan Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

  1. Simbol-Simbol dan Meme Kebencian

Ujaran kebencian tak selalu hadir dalam bentuk teks. Gambar, meme, emoji, bahkan lagu, bisa dimaknai sebagai hate speech bila menyampaikan penghinaan atau glorifikasi terhadap ideologi kebencian. Misalnya, simbol Nazi yang digunakan untuk menyindir kelompok tertentu dapat menjadi objek penindakan hukum.

Konsekuensi Hukum Ujaran Kebencian

Banyak pengguna media sosial yang tidak menyadari bahwa jejak digital yang mereka tinggalkan dapat menjadi barang bukti dalam proses pidana. Ujaran kebencian yang disebarkan di media sosial bisa berujung pada:

  • Pidana Penjara, hingga 6 tahun (UU ITE) atau 5 tahun (KUHP), tergantung pasal yang dilanggar dan dampak yang ditimbulkan.
  • Denda, bisa mencapai hingga Rp 1 miliar untuk pelanggaran UU ITE.
  • Pemeriksaan oleh Aparat Siber, termasuk penyitaan akun, perangkat, hingga pemanggilan sebagai tersangka.
  • Sanksi Sosial, seperti kehilangan pekerjaan, dikucilkan dari komunitas, hingga pencabutan beasiswa atau kesempatan pendidikan.
  • Tindakan Hukum Tambahan, seperti perintah pemblokiran akun atau penurunan konten oleh platform media sosial berdasarkan permintaan penegak hukum.

Mengapa Pencegahan Lebih Penting?

Pemerintah, masyarakat sipil, dan pengguna media sosial memiliki tanggung jawab bersama dalam menekan laju ujaran kebencian. Pendidikan literasi digital harus ditanamkan sejak dini, mulai dari sekolah hingga komunitas-komunitas dunia maya. Masyarakat perlu diajarkan untuk membedakan antara kritik, opini, dan ujaran kebencian.

Platform media sosial juga harus bertindak tegas dengan memperketat community guidelines, menangguhkan akun pelanggar, dan mendukung upaya aparat dalam menindak pelaku kejahatan digital. Kolaborasi ini sangat penting untuk menciptakan ruang digital yang sehat, damai, dan inklusif.

Bijaklah Bermedia Sosial

Ujaran kebencian bukan hanya soal etika, tapi juga persoalan hukum. Kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi bukanlah kebebasan tanpa batas. Setiap ujaran yang disampaikan di media sosial membawa risiko tanggung jawab hukum yang nyata. Oleh karena itu, kita semua dituntut untuk lebih bijak, lebih kritis, dan lebih bertanggung jawab dalam menggunakan ruang publik digital. Jangan biarkan jempol Anda membawa Anda ke balik jeruji besi.

Bandung, 29 Mei 2025

Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.