Beranda Klinik Hukum Akibat Hukum Jika Peraturan Perusahaan Tidak Disahkan Menaker

Akibat Hukum Jika Peraturan Perusahaan Tidak Disahkan Menaker

475
0

Bandung – Pengertian peraturan perusahaan menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

Menurut Pasal 108 UU Ketenagakerjaan, Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. Namun kewajiban tersebut tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.

Selanjutnya menurut Pasal 109 jo Pasal 111 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan, Peraturan perusahaan tersebut disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan. Ketentuan di dalamnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan sekurang-kurangnya memuat:

  1. hak dan kewajiban pengusaha;
  2. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
  3. syarat kerja;
  4. tata tertib perusahaan; dan
  5. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

Pengesahan peraturan perusahaan harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima. Jika peraturan perusahaan telah sesuai dengan persyaratan dalam Pasal 111 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan, maka dalam waktu 30 hari kerja sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan, peraturan tersebut dianggap telah mendapatkan pengesahan.

Pasal 112 ayat (3) dan (4) UU Ketenagakerjaan mengatur, bahwa dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan, Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan. Dalam waktu paling lama 14 hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima, pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.

Ketentuan teknis yang lebih spesifik mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (Permenaker 28/2014).

Dalam Pasal 7 ayat (1) Permenaker 28/2014, disebutkan, pengesahan peraturan perusahaan dilakukan oleh:

  1. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam satu wilayah kabupaten/kota;
  2. Kepala SKPD bidang ketenagakerjaan provinsi, untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi;
  3. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Direktur Jenderal), untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari satu provinsi.

Dalam Pasal 7 ayat (2) Permenaker 28/2014 disebutkan, “Direktur Jenderal yang dimaksud dapat mendelegasikan kewenangan pengesahan peraturan perusahaan kepada direktur yang menyelenggarakan urusan di bidang persyaratan kerja. Pasal 8 ayat (1) dan (2) Permenaker 28/2014, mengatur : Pengusaha harus mengajukan permohonan pengesahan yang dilengkapi dengan:

  1. naskah peraturan perusahaan yang telah ditandatangani oleh pengusaha; dan
  2. bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.

Selanjutnya, pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian terhadap kelengkapan dokumen dan materi peraturan perusahaan yang tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundang-undangan (Pasal 8 ayat (3) dan (4) Permenaker 28/2014). Apabila tidak memenuhi persyaratan, maka sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, pejabat akan memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan. Dalam hal pengusaha tidak menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki, maka proses pengesahan dimulai dari awal (Pasal 9 ayat (1) dan (3) Permenaker 28/2014).

Menurut Pasal 10 Permenaker 28/2014, atas permohonan pengesahan peraturan perusahaan yang telah memenuhi persyaratan, pejabat wajib mengesahkan peraturan perusahaan dengan menerbitkan surat keputusan dalam waktu paling lama lima hari kerja sejak dokumen dan materi telah memenuhi persyaratan.

Jika Peraturan Perusahaan Tidak Disahkan

Peraturan perusahaan mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk, sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Karena itu, peraturan perusahaan yang tidak diajukan pengesahannya oleh perusahaan tidak berlaku atau tidak mempunyai kekuatan hukum.

Selain itu, pelanggaran atas ketentuan Pasal 108 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, maka menurut Pasal 188 pengusaha dapat dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5 juta dan paling banyak Rp50 juta. Tindak pidana ini merupakan tindak pidana pelanggaran.

Selain itu, peraturan perusahaan yang tidak disahkan juga berpotensi menimbulkan perselisihan kepentingan, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004). Menurut Pasal 1 angka 3 UU 2/2004: “Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”

Merujuk Pasal 3 UU 2/2004, penyelesaian perselisihan kepentingan wajib diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan jangka waktu paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Jika dalam jangka waktu 30 hari salah satu pihak menolak berunding atau perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Dalam hal ini, menurut Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU 2/2004 yang dimaksud sebagai perundingan bipartit adalah perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih.

Apabila perundingan bipartit yang gagal, menurut Pasal 4 ayat (1) UU 2/2004, salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

Setelah menerima pencatatan, menurut Pasal 4 ayat (3) UU 2/2004, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Menurut penjelasan umum angka 7 UU 2/2004, jika penyelesaian melalui konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Sedangkan jika penyelesaian dipilih melalui arbitrase, masalah tersebut tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu yang dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung.

(Kantor Hukum Bernard Simamora dan Rekan).

Tinggalkan Balasan