Membina mahligai kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis menjadi impian semua orang. Tak pernah ada yang berharap mengalami keretakan kehidupan rumah tangga yang telah mereka bina. Berbagai persoalan, seperti seringnya bertengkar, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hilangnya rasa kecocokan hingga perselingkuhan sering jadi sumber masalah keretakan kehidupan rumah tangga yang berujung perceraian.
Namun, urusan perceraian bukan hal sederhana. Ada konsekuensi (akibat) hukum dalam sebuah perceraian. Misalnya, pembagian harta bersama (gono gini), hak asuh anak, nafkah anak dan nafkah istri. Timbul pertanyaan, bagaimana proses gugatan di pengadilan agama dan pengadilan negeri; bisakah gugatan perceraian dan harta gono-gini, digabung?
Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan atas putusan dari pengadilan. Perceraian dapat diajukan ke Pengadilan Agama (bagi orang yang beragama Islam) dan Pengadilan Negeri (bagi orang yang bukan beragama Islam). Hal ini terjadi karena Indonesia menganut dualisme yurisdiksi antara peradilan agama dan peradilan umum.
Salah satu akibat dari perceraian ialah terbaginya harta Bersama atau yang biasa disebut dengan harta gono gini. Lantas apakah ketika ingin mengajukan gugatan perceraian dapat sekaligus secara bersama-sama?
Pasangan suami istri yang beragama Islam berdasarkan UU Peradilan Agama boleh mengajukan permohonan cerai talak atau cerai gugat disertai pembagian harta gono gini di pengadilan agama, sehingga proses persidangannya dilakukan bersama-sama. Boleh juga setelah (diputus) cerai, baru mengajukan harta gono gini, boleh diajukan secara bersama-sama. Itu pilihan. Artinya, gugatan perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama membolehkan gugatan perceraian diajukan bersama-sama dengan gugatan gono-gini, penguasaan anak, nafkah anak dan nafkah istri. Hal itu diatur pada Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang berbunyi: “Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Berbeda dengan pasutri yang bukan beragama Islam, tidak bisa dilakukan penggabungan sidang cerai dan harta gono gini. Sebab, mereka tunduk pada ketentuan Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau hukum acara perdata dan pidana. Berdasarkan HIR, proses persidangan diawali dulu dengan sidang perceraian, kemudian dilanjutkan dengan sidang gugatan harta gono gini di pengadilan negeri.
Selain itu, menurut Yurispurensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.677.K/Sip/1972, tanggal 13 Desember 1972, berbunyi: “Suatu perkara yang tunduk pada suatu Hukum Acara yang bersifat khusus, tidak dapat digabungkan dengan perkara lain yang tunduk pada Hukum Acara yang bersifat umum, sekalipun kedua perkara itu erat hubungannya satu sama lain”. Oleh karena itu, terhadap gugatan perceraian yang akan diajukan di Pengadilan Negeri, maka gugatan perceraiannya dahulu yang diajukan, kemudian setelahnya dapat diajukan gugatan mengenai harta gono-gini.
(Kantor Hukum Bernard Simamora, S.Si., S.IP., SH, M.H. & Rekan)