Oleh UMI KULSUM dan TOTO SURYANINGTYAS
Lembaga legislatif menjadi ruang yang nyata bagi partai politik menunjukkan keberpihakan dan keseriusan berdemokrasi. Akan tetapi, penempatan bakal calon anggota legislatif dari luar kader parpol, apalagi semata berbekal popularitas, menimbulkan tanda tanya publik tentang keseriusan ”arah” demokrasi politik parpol.
Sudah menjadi fungsi partai politik berperan menjadi sarana artikulasi kepentingan rakyat melalui institusi formal negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat maupun pemerintahan, selain melakukan pendidikan politik dan menjadi wadah integrasi politik.
Sayangnya, kondisi ideal semacam itu belum dilihat oleh masyarakat Indonesia. Jajak pendapat yang dilakukan Kompas, 13-14 Agustus 2008, menangkap berbagai sinyal kekecewaan dan kesangsian publik terkait sepak terjang parpol saat ini.
Hasil jajak pendapat memperlihatkan hanya sebagian kecil responden (21,5 persen) yang menyatakan partai politik saat ini sudah menanggapi aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya, tiga dari empat responden (76,5 persen) menyatakan ketidakpuasan dengan kinerja partai politik dalam menangkap aspirasi masyarakat. Kekecewaan responden atas kinerja wakil parpol di parlemen membuat rakyat apatis dengan kader yang ada di dalam parpol.
Rangkaian jajak pendapat Litbang Kompas terhadap parpol memperlihatkan tingkat penerimaan terhadap parpol selalu relatif kecil, di bawah 25 persen. Sementara itu, tingkat ketidakpuasan rata-rata mencapai 75 persen.
Proses ini sejatinya sudah sejak lama terjadi. Menurut pengamat politik Sukardi Rinakit, hal itu, antara lain, bermula dari banyaknya partai yang merekrut ”jawara” sebagai pengurus meskipun sebenarnya tidak memiliki kemampuan politik (Kompas, 30 April 2008).
Kaderisasi lemah
Sulit dimungkiri saat ini tampak berbagai upaya partai politik memoles citra diri. Dalam abad di mana komunikasi politik berkembang jauh, termasuk dengan konsep-konsep marketing, menjadi sangat penting upaya menata ”gaya berpolitik”.
Sebagaimana dinyatakan oleh John Corner dan Dick Pels dalam Media and The Restyling of Politics (2003), dalam relasi politik dewasa ini faktor konsumerisme dan selebritas berjalan seiring yang acap kali pada akhirnya menimbulkan sinisme, bahkan apatisme, pada politik formal. Baik politikus ”bermoral” maupun ”tidak bermoral” sama-sama bertarung menggunakan panggung komunikasi media yang sama untuk memperebutkan perhatian publik.
Dalam situasi di mana struktur relasi politik direduksi dalam format yang lebih ”pop”, ada bahaya bahwa visi dan ideologi parpol turut pupus bersama tujuan-tujuan pragmatis jangka pendek.
Jika diletakkan konteks kaderisasi parpol dalam bingkai perekrutan politik, kondisi itu terekam dari maraknya perekrutan parpol terhadap kader dari luar parpol. Alih-alih merekrut kader berkualitas dan populer, tampaknya parpol lebih suka merangkul sosok yang memiliki daya tarik popularitas semata.
Yang saat ini sedang mengemuka adalah pencalonan artis oleh beberapa partai politik untuk dijagokan sebagai caleg ataupun wakil partai di pemerintahan. Beberapa partai besar seperti Partai Amanat Nasional (PAN) menggaet 33 artis, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan 10 artis, dan Partai Golongan Karya (Golkar) merekrut 10 artis. Latar belakang keartisan beragam, mulai dari pemain film, pembawa acara, penyanyi, hingga pelawak.
Alasan yang dikemukakan berbeda-beda. Jika Partai Golkar merasa harus ada wakil seniman untuk mengurusi persoalan seni dan budaya, maka PAN merasakan perlunya artis untuk membawa perubahan.
Hanya PPP yang secara gamblang mengakui kehadiran artis dalam bursa pencalonan legislator ditujukan untuk mendongkrak perolehan suara partai.
”Track record” penting
Di sisi lain, masyarakat tidak sepenuhnya mudah terbujuk oleh wajah para artis yang dipasang partai. Masyarakat tampaknya semakin jeli memerhatikan perkembangan berita tentang artis dan calon legislator. Tidak sepenuhnya responden menerima artis duduk di lembaga legislatif. Hanya para artis yang dianggap memiliki pengetahuan politik dan sungguh-sungguh terjun sebagai kader partailah yang didukung oleh responden.
Sebaliknya, artis yang tidak pernah diketahui memiliki track record sebagai kader partai yang andal ditolak oleh responden. Dalam jajak pendapat ini tercermin penilaian sebagian besar responden (68,9 persen) yang tidak yakin dengan kapabilitas artis sebagai caleg jika tanpa melalui proses kaderisasi internal.
Berbeda dengan penerimaan terhadap caleg dari artis, penerimaan publik terhadap kalangan akademisi, aktivis lembaga swadaya masyarakat, bahkan ulama dan tokoh masyarakat cenderung lebih tinggi. Hampir semua responden (90,3 persen) menyatakan persetujuan jika parpol merekrut calon anggota legislatif maupun pemerintahan dari kalangan mereka.
Dari sisi internal parpol, publik menilai parpol belum sepenuhnya transparan dalam menentukan calon anggota legislatif atau pemerintahan.
Penentuan kader yang masuk ”nomor urut” bakal calon anggota legislatif dinilai masih bersifat diskriminatif. Pola-pola hubungan kekerabatan, popularitas, kekayaan, bahkan kedekatan dengan militer disinyalir lebih berperan daripada kemampuan kepemimpinan politik seseorang.
Padahal, melalui kaderisasi, seluruh nilai visi dan misi partai sebagai sebuah organisasi menjadi alat penuntun seorang anggota partai dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, baik sebagai anggota legislatif maupun jika duduk dalam lembaga pemerintahan.
Akan tetapi, fenomena terakhir menunjukkan kebalikan, sebagian partai politik justru sibuk mencari figur populer di luar kader internal sebagai sarana meraih pemenangan kontestasi politik.
”Panggilan” politik melalui kaderisasi dan perekrutan yang lebih hati-hati tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah partai-partai yang saat ini hanya ”menjual” ideologi kepada konstituen.
Karena tak hanya ideologi, publik juga menuntut kedewasaan parpol dalam berkomunikasi politik. Atau, mau berakhir seperti sinyalemen John Corner dan Dick Pels, di mana masyarakat akan semakin apatis memilih parpol dan akhirnya lebih memilih acara idol-idolan di televisi. (Litbang Kompas)