Bandung – Fenomena perampasan tanah rakyat melalui manipulasi data administrasi desa bukan isapan jempol belaka. Di balik konflik agraria yang terus memanas di berbagai wilayah Indonesia, terbongkar praktik kejahatan yang melibatkan oknum birokrasi tingkat bawah hingga menengah: camat, lurah, hingga kepala desa. Mereka diduga berkolaborasi dengan mafia tanah untuk menghilangkan jejak kepemilikan sah masyarakat dengan cara menghilangkan Buku C, lalu menggantinya dengan kohir baru atas nama orang yang membayar mereka.
Modus Operandi: Dari Buku C ke Kohir Palsu
Buku C Desa adalah dokumen administratif penting yang mencatat sejarah penguasaan dan kepemilikan tanah oleh warga desa. Namun, dokumen ini justru menjadi titik lemah yang dimanfaatkan oleh mafia tanah. Dalam banyak kasus, kelompok mafia bekerja sama dengan kepala desa atau lurah untuk “menghilangkan” catatan asli milik warga, lalu membuat kohir (daftar pungutan pajak bumi dan bangunan) baru atas nama pihak yang tidak berhak.
Modus ini dijalankan secara sistematis. Oknum kepala desa akan menyatakan bahwa Buku C lama telah “hilang”, “terbakar”, atau “tidak ditemukan”. Setelah itu, dengan restu camat dan kerja sama kantor pertanahan, mereka membuat kohir baru yang menyebut nama pembayar (yang sejatinya adalah mafia atau pihak yang telah menyuap), dan menjadikannya dasar administratif untuk klaim kepemilikan baru.
Kohir Baru atas Dasar Surat Hibah dari Orang yang Sudah Meninggal, Bagaimana Bisa Sah?
Di salah satu kasus yang mencurigakan, terjadi pergantian nomor kohir atas suatu persil tanah dengan dasar surat segel hibah dari seseorang bernama H. Kosasih kepada pihak bernama si Polan. Masalahnya, H. Kosasih telah meninggal dunia sejak tahun 1966, sementara surat hibah tersebut digunakan si Polan pada tahun 2000-an. Secara logika dan hukum, hal ini jelas tidak masuk akal.
Namun, anehnya, surat hibah ini dianggap sah oleh aparat desa dan kecamatan, dan digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan kohir baru atas nama si Polan. Kok bisa?
Kemungkinan Modus:
- Pemalsuan Surat Segel: Surat hibah kemungkinan besar dibuat secara palsu atau dibuat mundur tahun seolah-olah berasal dari H. Kosasih.
- Kerjasama Oknum Aparat: Oknum kepala desa, lurah, atau camat mungkin menutup mata atau bahkan mengesahkan surat tersebut tanpa verifikasi data kematian H. Kosasih.
- Tidak Ada Cek Validitas di BPN: Kantor pertanahan yang seharusnya memverifikasi asal-usul tanah dan keabsahan dokumen, dalam banyak kasus, langsung memproses data dari desa tanpa penyelidikan lebih lanjut.
Mengapa Bisa Dianggap Sah? Karena administrasi di tingkat desa dan kecamatan sering kali menjadi “gerbang utama” dalam proses pertanahan. Jika mereka menyatakan dokumen sah, maka dokumen itu bisa masuk ke sistem BPN. Inilah celah yang sering dimanfaatkan mafia tanah dengan menyuap atau bekerja sama dengan aparat lokal.
Peran Camat dan Lurah: Melegitimasi Pemalsuan
Di level atasnya, camat dan lurah berperan penting dalam melegitimasi praktik ilegal tersebut. Camat sebagai atasan kepala desa bertanggung jawab melakukan verifikasi dan legalisasi data tanah dalam pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) atau dalam permohonan sertifikat tanah. Namun, dalam praktik mafia, camat justru menutup mata atau bahkan ikut bermain.
Verifikasi asal usul tanah menjadi formalitas semata. Banyak kasus menunjukkan bahwa camat menandatangani surat keterangan tanah (SKT) yang cacat secara hukum tanpa melakukan verifikasi lapangan. Ini membuka jalan bagi mafia tanah untuk mendapatkan sertifikat yang seolah-olah sah di mata hukum, padahal berdiri di atas klaim palsu dan pemalsuan dokumen.
Kejahatan Terstruktur, Sistemik, dan Masif
Keterlibatan aparatur desa dan kecamatan menjadikan kejahatan ini sebagai bentuk terstruktur, sistemik, dan masif (TSM). Dengan kekuatan administratif dan akses ke dokumen resmi, mereka mampu mencabut hak rakyat tanpa proses pengadilan. Warga pemilik tanah yang sah pun sering kali baru mengetahui tanahnya telah “berpindah tangan” saat sudah berdiri bangunan atau telah disertifikatkan atas nama orang lain.
Dalam kasus di Bandung, misalnya, ahli waris H. Kosasih kehilangan tanah warisan tuanya setelah kohir atas nama H. Kosasih “dihilangkan”, dan diganti dengan kohir atas nama orang yang baru saja membayar sejumlah uang kepada pihak kelurahan dan kecamatan. Meski tanah tersebut tidak pernah dijual, mafia tanah dengan bantuan aparat kelurahan dan kecamatan berhasil membuat seolah-olah tanah itu milik pihak lain secara administratif.
Penegakan Hukum yang Mandul
Ironisnya, laporan demi laporan ke kepolisian atau kantor pertanahan kerap mentok tanpa hasil. Banyak aparat penegak hukum justru menyarankan “mediasi” atau bahkan mengarahkan korban untuk “mencari jalan damai”, seolah-olah ini adalah sengketa biasa, bukan kejahatan terorganisir.
Padahal jelas, praktik ini melanggar banyak ketentuan hukum, mulai dari pemalsuan dokumen, penyalahgunaan wewenang, hingga perampasan hak atas tanah secara melawan hukum.
Solusi: Digitalisasi dan Pengawasan Independen
Langkah konkret harus segera diambil untuk menghentikan kejahatan ini. Digitalisasi data pertanahan, penghapusan sistem manual seperti Buku C, dan penguatan peran BPN yang akuntabel menjadi langkah awal. Selain itu, perlu dibentuk tim independen lintas sektor—dengan melibatkan KPK, Ombudsman, Komnas HAM, hingga organisasi masyarakat sipil—untuk melakukan audit dan investigasi menyeluruh terhadap praktik mafia tanah.
Transparansi dan partisipasi publik juga harus diperluas. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses verifikasi data pertanahan di desanya, dan diberi akses untuk mengawasi proses PTSL atau pendaftaran ulang tanah.
Penutup
Selama camat, lurah, dan kepala desa terus berkolaborasi dengan mafia tanah, selama aparat penegak hukum membiarkan kejahatan ini berjalan, maka keadilan agraria di Indonesia hanya akan menjadi mimpi. Kekuatan rakyat harus disatukan untuk membongkar dan melawan kejahatan yang merampas tanah dari tangan mereka yang seharusnya menjadi pemilik sah: rakyat itu sendiri.
(Bernard Simamora, Kantor Hukum BSDR)