Beranda Tipikor Kasus Urip-Artalyta

Kasus Urip-Artalyta

646
0

Oleh Zainal Abidin
Menarik dianalisis seluruh isi percakapan Artalyta Suryani dengan para pejabat Kejaksaan Agung. Pelajaran moral apa yang bisa dipetik dari hal itu?

Dalam rekaman percakapan itu Artalyta mendominasi pembicaraan, sedangkan Urip mengamininya. Artalyta mengarahkan Urip agar terus konsisten dengan skenario yang telah dia susun. Urip, seperti murid yang patuh, mengiyakan (beberapa kali dia menggumamkan kata-kata ”ya”, ”iya”, ”he-eh”) instruksi Artalyta (yang dipanggilnya ”Ibu Guru”).

Dalam psikologi komunikasi, bentuk komunikasi seperti itu memperlihatkan adanya dialog di antara dua individu yang kedudukannya tidak sejajar. Di satu pihak, ada yang posisinya lebih tinggi atau superior (Artalyta), sedangkan di pihak lain lebih rendah atau inferior (Urip).

Jika Urip bukan seorang jaksa, mungkin isi rekaman itu tidak akan membuat masyarakat terenyak dan trenyuh. Namun, masyarakat tahu bahwa Urip adalah seorang pejabat tinggi di kejaksaan, memiliki kedudukan penting dalam pemberantasan KKN. Dia adalah Ketua Tim Jaksa Penyelidikan BLBI. Maka, sangat lucu dan janggal, seorang yang tahu dan berpengalaman dalam masalah hukum diarahkan tentang kesaksian di pengadilan oleh seorang pengusaha yang bukan ahli hukum!

Analog film mafia
Kasus ini memunculkan pertanyaan dalam masyarakat: kenapa seorang pejabat hukum yang terhormat patuh pada pengarahan seorang terdakwa yang bukan ahli di bidang hukum? Jawaban commonsense mengacu pada metafor dalam film-film laga atau mafia. Sering dikisahkan dalam film-film tersebut bahwa dalam melakukan aksi-aksi kejahatan, para bos mafia biasanya memanfaatkan para penegak hukum, seperti hakim, jaksa, pengacara, dan polisi. Mereka memanfaatkan para penegak hukum tersebut agar aksi-aksi kejahatan yang mereka lakukan tidak disentuh oleh hukum.

Para penegak hukum yang lemah moral dan harga dirinya, dan tidak puas akan kehidupan ekonominya, dengan mudah masuk dalam perangkap mafia. Mereka menjadi kaki tangan bos mafia demi sejumlah imbalan ekonomi. Sebagai balasannya, mereka sangat loyal dan patuh. Mereka dapat melakukan apa saja untuk kepentingan bos mafia, termasuk berbohong kepada publik, menutupi-nutupi kejahatan, memutarbalikkan logika hukum dan moralitas, bahkan membocorkan rahasia negara. Mereka jadi pion yang dapat dimainkan oleh para bos. Ini bisa dipahami karena logikanya, orang yang memberi power-nya lebih tinggi dibandingkan orang yang menerima.

Hilangnya harga diri
Dalam konteks inilah persoalan moral pribadi (personal morality) menjadi sangat krusial. Salah satu motif utama para penegak hukum masuk dalam perangkap mafia adalah ingin meningkatkan harga diri. Dalam terminologi Adler (1978), mereka sebetulnya menderita inferiority complex, dan untuk kelihatan menjadi superior, mereka melakukan KKN.

Mereka menduga bahwa dengan kekayaan, mereka dapat meningkatkan harga diri mereka di dalam keluarga, kerabat, dan lingkungan sosialnya. Harga diri terangkat jika mereka dapat memperlihatkan kekayaan (yang merupakan lambang ”kesuksesan” dalam masyarakat kapitalis) saat berkumpul dengan para kerabat dekat dan tetangganya. Mereka merasa bangga bila banyak orang tahu bahwa mereka menyumbang tempat-tempat ibadat, yayasan anak yatim piatu, dan keluarga tidak mampu.

Mereka mungkin lupa bahwa untuk mendapatkan ”superioritas” seperti itu, mereka sebetulnya harus melupakan akal sehat dan merendahkan harga diri. Dalam kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim, mereka sesungguhnya dikendalikan oleh pengemplang uang negara. Mereka secara ekonomis, psikologis, dan sosial mengalami ”kerugian” karena hanya menerima Rp 6 miliar, padahal risiko yang harus mereka tanggung sangat besar. Sementara Sjamsul Nursalim sendiri (sang ”bos”) mendapatkan ”keuntungan” yang luar biasa, Rp 14,6 triliun dan bebas dari jeratan hukum!

Aspek moral lainnya berkaitan dengan tiadanya rasa keadilan dan ketidakpedulian terhadap kepentingan publik. Sangat tidak adil mengorbankan kepentingan publik untuk kepentingan pribadi (dan kepentingan kelompok sendiri), terutama dalam situasi sulit yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Dalam kondisi ekonomi nasional yang terpuruk seperti sekarang, tindakan mereka bukan hanya dikategorikan kejahatan kriminal, tetapi juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Bayangkan seandainya Sjamsul Nursalim diadili dan dinyatakan bersalah, lalu seluruh atau sebagian utangnya dikembalikan kepada negara, paling tidak sebagian rakyat miskin dapat terbantu hidupnya dan bayi yang kekurangan gizi dapat tertolong masa depannya.

Inti dari pelajaran moral dari kasus rekaman Urip-Artalyta adalah bahwa korupsi tidak menjadikan pelakunya terangkat harga dirinya, melainkan justru terpuruk, merendahkan dirinya sendiri, dan kehilangan akal sehat.

Pelajaran lainnya adalah bahwa perbuatan KKN dalam situasi ekonomi yang sulit pada dasarnya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Zainal Abidin Dosen Fakultas Psikologi Unpad dan Pascasarjana UI Depok

sumber : kompas

Tinggalkan Balasan