JAKARTA – Robert Parlindungan Sitinjak selaku Jaksa Utama Muda pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) mengatakan penanganan kasus kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan secara damai.
Hal itu, menurutnya, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Tidak boleh (damai),” ujar Robert Parlindungan Sitinjak di Jakarta, Jumat (1/12/2023).
Menurut Sitinjak, proses hukum kasus-kasus kekerasan seksual harus mengacu pada UU TPKS. Sehingga, pelaku mendapatkan sanksi hukum, korban bisa direhabilitasi, dan mendapatkan uang restitusi.
“UU TPKS ini membantu. Di samping pelakunya dihukum, korbannya dapat rehabilitasi, bahkan dapat uang restitusi ganti rugi supaya dia bisa kembali ke kehidupannya,” ujar Robert Parlindungan Sitinjak.
Ia menambahkan UU TPKS telah berlaku sejak disahkan pada 9 Mei 2022, meskipun peraturan turunannya belum terbit. Namun demikian, diakuinya, implementasi dari UU TPKS tersebut masih rendah.
“Iya masih rendah. Karena kita berbenturan dengan budaya, masih pakai prinsip-prinsip adat istiadat,” ujar Robert yang mantan Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) periode 2021 – 2023.
Sementara saat ini proses penyusunan dan pembentukan peraturan turunan UU TPKS sudah memasuki tahapan akhir menuju penetapan dan pengundangan. Pemerintah menyepakati pembentukan tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres), dimana lima peraturan diprakarsai oleh Kementerian PPPA dan dua lainnya diprakarsai oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga mengatakan proses penyusunan dan pembentukan peraturan turunan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah memasuki tahapan akhir menuju penetapan dan pengundangan.
“Proses penyusunan dan pembentukan peraturan turunan UU TPKS saat ini berjalan sesuai dengan target dan telah memasuki tahapan proses akhir menuju penetapan dan pengundangan yang memerlukan penanganan secara terarah, terpadu, terencana, efektif, dan efisien,” ujar Bintang Puspayoga dalam keterangan, di Jakarta, Kamis (30/11/2023).
KemenPPPA sebagai leading sector bersama dengan Panitia Antarkementerian dan Nonkementerian (PAK) menyepakati pembentukan tiga Peraturan Pemerintah dan empat Peraturan Presiden, dimana lima peraturan diprakarsai oleh KemenPPPA dan dua diantaranya diprakarsai oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dua peraturan turunan UU TPKS yang diprakarsai oleh Kemenkumham adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum dan Tenaga Layanan Pemerintah, dan Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.
Sementara lima peraturan turunan yang diprakarsai oleh KemenPPPA berupa RPP tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban TPKS; RPP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan penanganan Korban TPKS.
Kemudian RPerpres tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu dalam Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan di Pusat; Perpres tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak; dan RPerpres Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS.
The post Kejagung : Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Tak Boleh Diselesaikan Secara Damai first appeared on Majalah Hukum.