Dalam praktik perbankan, perjanjian kredit merupakan fondasi utama dalam relasi antara bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur. Hubungan hukum ini tidak sekadar bersifat transaksional, melainkan juga mencerminkan dinamika sosial-ekonomi yang kompleks. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menjadi rujukan utama dalam menilai bagaimana kedudukan para pihak dan bagaimana negara mengatur risiko, termasuk risiko kredit macet yang menjadi momok di dunia perbankan.
Keseimbangan Relasi Hukum Kreditur dan Debitur.
Secara yuridis, hubungan antara debitur dan kreditur dalam perjanjian kredit bersifat konsensual dan timabal balik. Dalam perspektif UU Perbankan, masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang setara secara hukum, meskipun dalam praktiknya sering kali terjadi ketimpangan pada tahap-tahap tertentu.
Bank memang tampak lebih dominan pada saat proses pengajuan kredit berlangsung. Calon nasabah berada dalam posisi “memohon” dan oleh karenanya cenderung menerima segala ketentuan yang ditetapkan bank. Namun dominasi ini tidak bersifat absolut. Setelah kredit dikucurkan, posisi nasabah justru menjadi sentral karena keberhasilan pengembalian dana bergantung pada integritas dan performa usaha si debitur.
Oleh karena itu, hukum menuntut adanya keseimbangan tanggung jawab dan perlindungan hukum yang adil bagi kedua belah pihak. Bank tidak bisa serta-merta memaksakan kehendaknya, dan nasabah tidak bisa semena-mena menyalahgunakan fasilitas kredit. Dalam praktik, prinsip kehati-hatian dan asas fiduciary duty menjadi penyeimbang utama dalam relasi ini.
Akar Masalah Kredit Macet.
Kredit macet tidak lahir dari ruang hampa. Terdapat dua sumber utama penyebabnya: dari pihak nasabah dan dari pihak bank itu sendiri.
Dari sisi nasabah, penyebab kredit macet antara lain:
- Penyalahgunaan dana kredit tidak sesuai peruntukan.
- Ketidakmampuan manajerial dalam mengelola usaha.
- Itikad tidak baik, seperti sengaja menghindari kewajiban pembayaran.
Sedangkan dari sisi bank, terdapat beberapa faktor internal yang memicu pembiaran terhadap potensi kredit macet:
- Lemahnya kualitas pejabat bank dalam melakukan analisis kelayakan kredit.
- Adanya tekanan persaingan antarbank yang membuat prosedur kredit dilonggarkan.
- Minimnya sistem informasi kredit yang akurat dan terintegrasi.
- Kurangnya pengawasan internal terhadap kinerja portofolio kredit.
Dengan demikian, kredit macet adalah cermin dari ketimpangan manajemen risiko di kedua belah pihak, bukan semata kegagalan debitur.
Strategi Penyelesaian dan Pencegahan Kredit Macet
Pencegahan dan penanganan kredit macet membutuhkan pendekatan sistemik. Beberapa solusi strategis yang dapat ditempuh antara lain:
- Penyusunan pedoman minimum kebijakan perkreditan yang menjadi standar dasar bagi seluruh bank.
- Penyempurnaan sistem informasi kredit, termasuk integrasi Daftar Kredit Macet Nasional, agar bank dapat melakukan penilaian yang berbasis data historis.
- Pencantuman nama debitur bermasalah dalam blacklist, untuk mencegah mereka kembali menjadi pengurus bank atau menerima fasilitas kredit di masa depan.
- Peningkatan kompetensi pejabat bank melalui pelatihan berkala dalam analisis risiko dan prinsip kehati-hatian.
- Pendekatan mediasi dan restrukturisasi untuk debitur yang masih beritikad baik, sebelum masuk ke tahap penegakan hukum atau eksekusi agunan.
Relasi antara debitur dan kreditur adalah relasi kepercayaan yang dibingkai oleh hukum. Ketika salah satu pihak mengabaikan tanggung jawabnya, maka yang muncul adalah disfungsi yang merugikan bukan hanya bank, tetapi juga stabilitas sistem keuangan nasional.
Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, memperkuat sistem pengawasan, serta menegakkan prinsip kehati-hatian adalah jalan tengah untuk menghindari jebakan sistemik kredit macet. Dalam konteks ini, hukum bukan hanya berfungsi sebagai alat represif, tetapi juga sebagai instrumen pencegahan yang adil dan proporsional.
Oleh: Redaksi Klinik Hukum BSDR (Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M. dan Rekan)