Beranda Artikel Mengenal Hak Angket, Hak Interpelasi, dan Hak Menyatakan Pendapat DPR RI

Mengenal Hak Angket, Hak Interpelasi, dan Hak Menyatakan Pendapat DPR RI

91
0

Sebagai sebuah lembaga legislatif, DPR RI memiliki beberapa hak yang diberikan oleh konstitusi untuk menjalankan tugas dan fungsi mereka. Di antara hak-hak tersebut adalah hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat. Dalam artikel ini, kita akan mengenal lebih jauh tentang ketiga hak tersebut dan bagaimana pengaruhnya terhadap proses demokrasi di Indonesia.

Berdasarkan Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Untuk menjalankan fungsinya tersebut, DPR diberikan tiga hak menurut UUD 1945. Dalam hal ini, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat yang diatur dalam UUD Pasal 20A ayat (2).

Tiga hak DPR tersebut juga termaktub di dalamPasal 79 ayat (1) UU MD3.

  1. Hak Interpelasi.

Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sebagaimana dalam Pasal 79 ayat (2) UU MD3.

Pasal 194 ayat (1) dan (2) UU MD3 menyebutkan, hak interpelasi diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi dengan disertai dokumen yang memuat paling sedikit:

a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan pemerintah yang akan dimintai keterangan; dan

b. alasan permintaan keterangan.

Pasal 194 ayat (3) UU MD3 menegaskan, usul tersebut menjadi hak interpelasi DPR jika disetujui dalam rapat paripurna yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir.

Selanjutnya, menurut Pasal 196 ayat (1) UU MD3, jika usul hak interpelasi disetujui maka presiden atau pimpinan lembaga dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis terhadap materi interpelasi dalam rapat paripurna DPR berikutnya.

Kemudian, apabila DPR menerima penjelasan presiden atau pimpinan lembaga, usul interpelasi dinyatakan selesai dan materi interpelasi tidak bisa diajukan kembali. Sementara, menurut Pasal 197 ayat (2) dan (3) UU MD3, jika DPR menolak penjelasan presiden atau pimpinan lembaga DPR dapat mengajukan hak DPR lainnya seperti hak angket dan hak menyatakan pendapat.

Keputusan menerima atau menolak tersebut harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir, sebagaimana diatr dalam Pasal 197 ayat (4) UU MD3.

  1. Hak Angket

Dalam pasal 79 ayat (3) UU MD3, disebutkan, Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Adapun yang dimaksud dengan “pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah” dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh presiden, wakil presiden, menteri negara, panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3.

Pasal 199 ayat (1) UU MD3 mengatur, Hak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Diatur dalam Pasal 199 ayat (2) UU MD3, Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit:

a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan

b. alasan penyelidikan.

Usul tersebut baru bisa menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir, sebagaimana dalam Pasal 199 ayat (3) UU MD3.

Pasal 201 ayat (1) dan (2) UU MD3 menyebutkan, apabila usul hak angket diterima oleh DPR, maka DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang beranggotakan semua unsur fraksi DPR. Jika usul hak angket ditolak, maka usul tidak dapat diajukan kembali (Pasal 201 ayat (3) UU MD3)

Disebut dalam Pasal 204 ayat (1) s.d. (4) dan Pasal 205 ayat (1), (3), dan (6) UU MD3, Panitia khusus tersebut dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau warga negara asing yang bertempat tinggal di Indonesia, serta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Panggilan tersebut wajib dipenuhi dan jika panggilan tersebut tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, maka DPR dapat memanggil secara paksa dengan bantuan kepolisian.

Kemudian, dalam rapat paripurna DPR, akan diputuskan mengenai hasil dari hak angket yang telah dilakukan oleh DPR. Pasal 208 ayat (1) UU MD3 menyebutkan, Apabila diputuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat.

Namun, disebut dalam Pasal 208 ayat (2) UU MD3 jo. Pasal 190 ayat (2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, jika diputuskan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tidak bisa diajukan kembali pada periode masa keanggotaan DPR yang sama.

Mengenai keputusan DPR untuk menerima atau menolak hak angket, maka harus dengan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir, sebagaimana dalam Pasal 208 ayat (3) UU MD3.

  1. Hak Menyatakan Pendapat

Pasal 79 ayat (4) UU UU MD3 menyebutkan, Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:

a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;

b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau

c. dugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Dalam Pasal 210 ayat (1) dan (2) UU MD3 sesebutkan, Hak menyatakan pendapat diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit:

a. materi kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau dunia internasional dan alasan pengajuan usul pernyataan pendapat;

b. materi hasil pelaksanaan hak interpelasi atau hak angket;

c. materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya tindakan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela presiden dan/atau wakil presiden atau materi dan bukti yang sah atas dugaan tidak dipenuhinya syarat presiden dan/atau wakil presiden.

Berbeda dengan hak angket dan hak interpelasi, Pasal 210 ayat (3) UU MD3 mengatur, usul tersebut bisa menjadi hak menyatakan pendapat jika mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 jumlah anggota DPR yang hadir.

Apabila usul hak menyatakan pendapat diterima, DPR membentuk panitia khusus yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR, yang diatur dalam Pasal 212 ayat (2) UU MD3.

Jika rapat paripurna DPR memutuskan menerima laporan panitia khusus mengenai kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau dunia internasional atau hasil hak pelaksanaan hak angket atau hak interpelasi, maka DPR menyatakan pendapatnya kepada pemerintah, diatur dalam Pasal 214 ayat (1) UU MD3.

Sementara itu, jika rapat paripurna DPR memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat menjadi presiden dan/atau wakil presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan, sebagaimana dalam Pasal 214 ayat (2) UU MD3.

Disebutkan Pasal 215 ayat (1) UU MD3, Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR terbukti, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR.

Dasar Hukum:
UUD 1945;
UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah oleh UU No. 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang diubah kedua kalinya dengan UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan diubah ketiga kalinya dengan UU No. 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Bandung, 22 February 2024

Bernard Simamora, S,Si, S.IP, SH, MH, MM.

Tinggalkan Balasan