Pada tahun 1963, Ernesto Miranda ditangkap polisi dengan tuduhan menculik dan memerkosa perempuan di sebuah halte bus Negara Bagian Arizona, Amerika Serikat.
Dia ditangkap, diperiksa, diadili, dan dihukum (oleh pengadilan distrik) hanya berdasarkan pengakuannya, tanpa didukung alat-alat dan bukti lain. Ketika kasusnya sampai ke Supreme Court (Mahkamah Agung), pada tahun 1966, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan sebelumnya dan memerintahkan penyidik untuk mengulang proses penyidikan kasus itu karena hak-hak terdakwa tidak dipenuhi sesuai ketentuan Amandement ke 5 konstitusi AS.
Sejak itu, di AS berlaku asas yang dikenal dengan ”Miranda Warning”. Inti asas itu adalah seseorang yang dituduh dan akan diperiksa karena diduga melakukan tindak pidana, penyidik harus lebih dulu memberitahu tersangka dengan kalimat baku, ”You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to have an attorney present during questioning. If you cannot afford an attorney, one will be appointed for you”.
Kini, ketika di Indonesia muncul kasus Agus Condro Prayitno yang mengaku menerima suap atau gratifikasi Rp 500 juta terkait proses pengangkatan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. Ternyata, sang deputi gubernur senior BI ini juga telah menerapkan salah satu asas Miranda Warning.
Sikap diam
Meskipun pengakuan ATP mengarah pada keterlibatan Miranda, tetapi hingga kini dia tidak mau memberi penjelasan atau komentar apa pun. Hingga kini Miranda belum diperiksa aparat hukum. Tetapi, seandainya kelak diperiksa dalam kasus suap, apakah dia akan menggunakan haknya untuk remain silent atau diam?
Masalahnya, sikap diam seorang tersangka akan menguntungkan atau merugikan?
Dalam hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) dikenal lima jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 184. Untuk mengajukan seseorang tersangka ke pengadilan, penyidik dan jaksa harus melengkapi berkas perkara dengan setidaknya dua di antara lima jenis alat bukti yang sah menurut undang-undang, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Demikian juga untuk menjatuhkan pidana, hakim harus mendasarkan atas alat-alat bukti setidaknya dua alat bukti sah sehingga ia mendapat keyakinan, suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan pelakunya adalah terdakwa, serta dia bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP).
Keterangan tersangka hanya salah satu dari lima jenis alat bukti dan tidak harus selalu ada atau diperlukan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam praktik, penyidikan suatu perkara pidana maupun proses persidangan di pengadilan, pengakuan terdakwa tidak dijadikan alat bukti penting karena setiap saat dapat berubah di persidangan sesuai kemauan terdakwa. Bahkan, seandainya terdakwa bersikap diam sejak penyidikan sampai ke persidangan di pengadilan, tidak akan dapat memengaruhi hakim guna menghukum terdakwa jika alat-alat bukti lain telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan.
Merugikan atau meringankan
Sikap diam tersangka dalam penyidikan atau di pengadilan boleh jadi akan merugikan karena dia tidak dapat mengemukakan hal-hal yang dapat meringankan atau menjelaskan alasan yang dapat dimaklumi mengapa dia melakukan pidana itu.
Sikap diam tersangka atau terdakwa mungkin dapat menguntungkan jika penyidik tidak mampu mencari atau menemukan alat-alat bukti lain dalam kasus pidana itu. Dalam kasus-kasus tertentu, misalnya pembunuhan, sikap diam tersangka dapat mendorong sementara penyidik melakukan pemaksaan dengan berbagai cara agar mendapat pengakuan tersangka. Jika sampai terjadi pemaksaan demikian, hal itu akan tidak ada artinya jika di pengadilan terdakwa memungkiri dengan alasan terpaksa mengaku karena disiksa.
Namun, dapat terjadi sebaliknya jika terdakwa terpaksa tetap mengakui perbuatannya sampai putusan pengadilan padahal sebenarnya dia tidak melakukan perbuatan itu. Maka, akan terjadi peradilan sesat, seperti dalam kasus Marsinah, dan terakhir kasus Asrori di Jombang, Jawa Timur. Sayang, hingga kini masih belum ada aturan hukum yang tegas melarang berbagai bentuk pemaksaan untuk mendapat pengakuan dari tersangka meski dalam UU No 5/1998 Indonesia telah meratifikasi Convention Against Tortue and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.
Apabila masih juga terjadi penghukuman terdakwa yang terpaksa mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak ia lakukan, akan dapat terus terjadi peradilan sesat yang menzalimi seseorang yang tidak bersalah di negeri ini.
Dalam konteks kasus dugaan suap atau gratifikasi yang diterima Agus Condro, sikap diam Miranda dapat menguntungkan atau juga merugikan. Di alam keterbukaan saat ini, pemberitaan di media masa amat memengaruhi opini publik. Seseorang dapat dengan tiba-tiba menjadi ”pahlawan” dan disanjung-sanjung, atau sebaliknya seseorang dapat menjadi bulan-bulanan bahkan cemoohan publik apabila diberitakan hal yang negatif yang belum tentu kebenarannya.
Adalah penting bagi seorang figur publik atau pejabat negara untuk dapat bersikap arif dan tepat jika tiba-tiba ada pemberitaan yang negatif terhadap dirinya. Sikap bijak untuk merespons berita negatif yang menyudutkan seseorang adalah dengan melakukan klarifikasi secara terbuka, dilengkapi data-data akurat dan, jika ada, didukung saksi-saksi yang mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Kini terserah kepada yang bersangkutan untuk menentukan pilihan sikap yang akan diambilnya, dengan berbagai konsekuensinya.
Sudhono Iswahyudi Praktisi Hukum; Mantan Jampidsus
Sumber : Kompas