Perubahan sejumlah partai politik, yang menyetujui penerapan sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut dalam penentuan calon anggota legislatifnya, adalah sikap pragmatis dan hipokrit. Perubahan sikap itu hanya untuk mencari simpati dan merebut kembali suara masyarakat.
Penilaian itu disampaikan sejumlah pembicara dalam penyampaian rekomendasi Kelompok Kerja (Pokja) Reformasi Tata Kelola dan Demokrasi Internal Parpol Tahap II, Kamis (14/8) di Jakarta. Kegiatan itu difasilitasi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), The International Republican Institute (IRI), dan United States America for International Development (USAID).
Turut hadir J Kristiadi (CSIS), Indra J Piliang, Sebastian Salang dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), dan Jeirry Sumampow (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat). Dalam ringkasan, pokja merekomendasikan kepada parpol untuk mendemokratiskan pencalegan, pendidikan politik, dan penyelesaian konflik internal.
”Adanya perubahan sikap seperti itu, walau konteksnya pragmatis, sebenarnya jauh lebih baik. Penerapan proporsional terbuka tanpa nomor urut bisa jadi permanen jika tekanan publik dan media massa menjadikannya seperti itu,” ujar Kristiadi.
Kristiadi menilai, dalam konteks tertentu, seperti pada Partai Golkar, keputusan menerapkan sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut diambil untuk meredam ketegangan antarfaksi.
Jeirry menilai ironis saat sejumlah parpol menyatakan mendukung sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut. Padahal, saat pembahasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sebelumnya di Dewan, mereka menolak ketentuan itu.
”Baru setahun lalu, saat penyusunan Undang-Undang Pemilu, banyak parpol menentang keras ketentuan proporsional terbuka tanpa nomor urut itu. Kondisi seperti itu membahayakan sebab masyarakat bisa semakin apatis kepada parpol dan juga demokrasi,” ujar Jeirry.
Sebastian menambahkan, keputusan sejumlah parpol yang menerapkan proporsional terbuka tanpa nomor urut hanya menjadi alat jualan politik, yang sengaja diumumkan kepada masyarakat untuk menarik simpati dan suara. Padahal, ketentuan itu sebelumnya tak dikenal dalam aturan internal parpol. Parpol seharusnya konsekuen pada aturan yang dibuatnya. (dwa)
sumber : kompas