Pemilu legislatif yang digelar pada 9 April 2009 mendatang dinilai akan berlangsung lebih demokratis dibandingkan pemilu sebelumnya, menyusul adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan calon legislatif (caleg) yang lolos adalah yang meraih suara terbanyak dan tidak ditentukan oleh nomor urut. Namun pemilu legislatif 2009 yang menetapkan sistem tarung bebas antarcaleg ini akan lebih rentan terhadap politik uang (money politics) yang kemungkinan dilakukan caleg nomor urut besar. Sistem tarung bebas akan lebih baik dari sistem sebelumnya, tapi rentan terhadap permainan uang.
Namun, sistem tarung bebas ini juga harus diimbangi dengan kecerdasan berpolitik, moral dan etika terhadap masyarakat, sehingga tidak mudah terpengaruh dengan politik uang. Jika kecerdasan politik politik masyarakat masih rendah, pemilu legislatif 2009 ini akan mengalami degradasi akibat adanya politik uang. Secara umum, pemilu legislatif 2009 akan lebih mendekatkan caleg dengan konstituennya. Akan terjadinya persaingan antarcaleg yang berasal dari satu parpol, namun rawan untuk menabur benih korupsi
Caleg dipaksa berkreasi, sedangkan rakyat harus memilih yang benar-benar baik. “Baik” dalam hal ini belum tentu diartikan jujur, kapabel dan kredibel. Bisa saja yang dimaksud baik adalah bageur, boros, suka memberi uang. Korupsi dalam bentuk politik uang telah membuat pesta demokrasi sangat boros, sementara hasil dari pemilu itu tidak bisa maksimal membawa perubahan untuk kesejahteraan yang lebih baik. Oleh karenanya, politik uang harus diakhiri. Politisi harus sadar dan tak menjejali rakyat dengan uang. Sebaliknya, rakyat juga tidak boleh mendasarkan pilihan politiknya semata-mata karena uang. Yang korupsi bukan hanya para politisi, tapi rakyat kita juga sama korupsinya,” imbuhnya.
Benarkah rakyat korupsi? Realitas yang menunjukkan kalau rakyat memanfaatkan politik uang memang kasat mata. Rakyat kini malah terang-terangan meminta kepastian akan kucuran uang di muka publik. Singkatnya, mereka tidak malu-malu untuk menyampaikan keinginan mendapatkan uang “panas” politik.
Akhirnya kita melihat seolah-olah menjadi kewajaran jika rakyat pada akhirnya tidak peduli dengan apa pun yang mengatasnamakan politik ataupun demokrasi. Cenderung Golput. Bagi mereka, yang terpenting adalah mendapatkan uang untuk kemudian bisa mengepulkan dapurnya. Wajar pula jika bagi mereka pemilu adalah sarana untuk mendapatkan remah-remah dari penguasa. Padahal, secara hakikat uang yang dipegang oleh para penguasa itu tak lain adalah uang rakyat. Sejatinya, dalam menerima uang politik, rakyat tidak korupsi. Itu uang rakyat yang dipakai oleh para penguasa. Sekarang rakyat menagih uangnya kembali. Jadi, kalaupun rakyat mengambil uangnya, tetapi tidak memilih, itu sah. Dalam ilmu filsafat, menipu penipu adalah sah karena merupakan hukum negasi dari negasi.
Tetapi esensi mendapat uang politik atau membolehkan terjadinya money politics pada akhirnya adalah sebuah upaya kloning, atau mengawetkan budaya korupsi minimal untuk satu preode Pemilihan Umum. Kiranya, selain koruptor atau yang merasa bahagia dihidupi koruptor saja yang setuju untuk mengawetkan korupsi agar tetap berlangsung. Sedangkan kebanyakan di antara kita, apa lagi masyarakat jelata pasti sangat setuju dengan Pemberantasan Korupsi yang dimulai dengan Pencegahan Korupsi.
Memberi uang kepada calon pemilih hanyalah seorang penabur benih korupsi, bahkan sedang menanam-suburkan mentalitas korupsi dan upaya “pembodohan” rakyat. Menerima uang dari Caleg atau Capres, maupun Cagub atau Cawalkot berarti menetujui budaya korupsi untuk terus menerus berlangsung dan menyengsarakan rakyat.
(Bernard Simamora, Pengamat Sosial Politik, Pendidik, tinggal di Bandung)
seperti kiat dagang toko serba lima ribuan, mungkin para calegpun praktekkan dengan serba 20ribu-an atau serba 50ribu-an. Dan mungkin larisnya sama seperti toko serba lima ribuan tersebut. Yang salah siap sebenarnya?