Oleh Bernad Simamora
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2012 terkait pengelolaan sumber daya manusia (SDM) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 7 Desember 2012, meskipun baru diumumkan kepada publik 10 Desember 2012.
Presiden dinilai lamban dalam mengeluarkan PP tersebut, karena sejak November 2012 KPK telah meminta Presiden SBY segera menandatangani draf revisi Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sumber Daya Manusia (SDM) di KPK. Jika tidak, lembaga ini akan kehilangan 41 pegawai pada Desember 2012 karena masa tugasnya yang maksimal 8 tahun akan habis. Para pegawai tersebut merupakan pegawai negeri sipil (PNS) dari intansi lain yang bekerja di KPK. Selain bakal kehilangan 41 pegawai, KPK terancam kembali kekurangan penyidiknya. Mabes Polri juga tidak memperpanjang 13 penyidiknya yang bertugas di KPK dengan alasan habis masa tugasnya, dan bersamaan dengan penahanan KPK atas Irjen Djoko Susilo, tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi (SIM).
Melalui PP 103/2012 ini diharapkan akan mengakhiri krisis penyidik KPK yang selama ini menjadi persoalan dalam proses pemberantasan korupsi yang dilakukan institusi itu. Dalam PP ini, seorang penyidik yang sedang menangani kasus tidak serta-merta meninggalkan tugasnya sebelum tuntas. Dia baru beralih tugas kalau sudah P21 yaitu berkas perkara dinyatakan lengkap. Secara keseluruhan, masa kerja pegawai KPK, baik yang berasal dari Polri, kejaksaan, maupun institusi lainnya bisa diperpanjang dari 4 tahun, tambah 4 tahun, sampai akhirnya 10 tahun, dan harus berkoordinasi dengan institusi asal.
Meskipun PP 103/2012 ini sedikit melegakan bagi KPK, maupun bagi masyarakat Indonesia yang menaruh harapan besar bagi KPK, semangatnya tetap masih dengan paradigma lama. Pertama, PP tidak mengatur kemungkinan pemberian hak kepada KPK untuk merekrut, mendidik, dan memiliki penyidik sendiri. Hal itu sangat penting agar KPK tidak tergantung pada institusi lain. Selain itu juga tujuannya untuk menghindari adanya konflik kepentingan terkait penyidik. Kedua, penanganan para pembantu Presiden dan Presiden SBY sendiri atas usulan revisi PP 63/2005 tentang Sumber Daya Manusia di KPK sangatlah lamban, yang memakan waktu hingga satu bulan pada hal tidak terlalu ada yang istimewa, namun cukup menganggu efektifitas kinerja KPK.
Usulan revisi PP 63/2005 sebelumnya juga diharapkan mengatur beralihnya status kepegawaian menjadi pegawai tetap KPK. Bahkan sebelumnya, KPK telah mengalihkan status sejumlah penyidik asal Kepolisian menjadi pegawai KPK, namun pihak Polri mempermasalahkan langkah itu. KPK kemudian mengendor, jika tidak dapat beralih status menjadi pegawai KPK, diharapkan agar pegawai institusi lain yang ditempatkan ke KPK bisa bekerja hingga 12 tahun di KPK.
KPK memang selalu dalam posisi sulit dalam membersihkan lembaga-lembaga negara tanpa didukung lembaga negara lainnya. Meskipun secara verbal pimpinan Polri mengatakan mendukung KPK, nyatanya Kepolisian tak menampakkan dukungannya. Polri tiada hati mendukung KPK dengan tak memperpanjang masa tugas para penyidiknya yang bertugas di KPK. Pimpinan polri lebih mengutamakan formalitas normatif administratif, ketimbang substansi urgensi ketersediaan penyidik bagi KPK dalam mengemban tugas-tugas yang sangat berat termasuk memenuhi yang dan harapan publik.
Selama ini KPK terkesan seperti bergerak sendiri dalam upaya pemberantasan korupsi. Idealnya, KPK memiliki penyidik independen sendiri. Namun, KPK membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan penyidik independen. Dengan kondisi ini, KPK bergantung pada penyidik dari kepolisian dan kejaksaan. Seyogianya, meskipun Peraturan Pemerintah yang mengatur soal penyidik dan memungkinkan adanya penyidik independen KPK itu belum rampung, kalau Polri itu sungguh-sungguh mendukung KPK, masa tugas penyidik POLRI yang habis masa tugasnya di KPK dapat saja perpanjang. Demi bangsa, demi pemberantasan korupsi.
Ketika kasus yang ditangani menyangkut dugaan korupsi di tubuh Kepolisian, “Kasus Cicak Buaya” jilid 2 terjadi dengan perintah penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan beberapa bulan yang lalu, bersamaan dengan pemeriksaan sang tersangka yang Inspektur Jenderal Polisi, yang dinilai sebagai “penyerangan ke kantor KPK”. Ini mengingatkan kita pada kasus “Cicak Buaya” Jilid I dengan aktor Komjen Susno Duadji, yang tidak terlepas dari kasus Bank Century yang berakhir pada kriminalisasi Pimpinan KPK yang menumbalkan Antasari Azhar – yang getol memberdayakan KPK.
Selama penyidik KPK masih berasal dari Polri, bagaimana pun, sangat logis bila terdapat conflict of interest dengan berbagai varian. Pertama, penanganan KPK atas oknum anggota Polri yang tersangkut dugaan korupsi saat ini maupun yang akan datang, akan menyulut semangat korps Polri membela anggotanya, maupun solidaritas sesama anggota Polri. Kedua, intitusi Polri juga mempunyai salah satu tugas pokok mengusut kasus-kasus korupsi, sehingga logis bila terjadi perasaan rivalitas, namun menjadi pihak yang kalah. Ketiga, citra dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri maupun pimpinannya telah menuju titik nadir; sebaliknya, kepercayaan masyarakat terhadap KPK sangat besar. Berbagai kalangan mengatakan, “lembaga negara yang dapat dipercaya tinggal KPK dan MK” Hal ini juga menjadi satu beban tersendiri bagi institusi Polri, sebagaimana dialami Kejaksaan Agung, maupun Mahkamah Agung.
Disisi lain, kelambanan eksekutif maupun legislatif dalam memfasilitasi efektifitas kinerja KPK, secara logis terkait juga dengan conflict of interest. Serangan demi serangan dihadapi KPK, dan akan terus demikian yang berasal dari yang terusik oleh sepak terjangnya. DPR sendiri telah merasa telah “melahirkan” KPK sebagai anak macan yang hendak menelan induknya. Eksekutif sebagai representasi dari partai pemenang pemilu, dimana kader-kadernya sedang diusut dugaan mega skandal korupsi di Kemenpora dan Kemdiknas, tentu kegerahan dengan sepak terjang KPK. Petinggi partai pemenang pemilu saat ini jelas sangat gusar tentang siapa lagi kadernya yang bakal dijerat KPK dalam kasus Wisma Atlet, Hambalang, Kemendiknas, maupun Bank Century. Hal itu lebih menggusarkannya alih-alih segera meregulasi kemandirian pengelolaan SDM di KPK.
Tidaklah heran kalau ada saja wacana untuk merevisi UU KPK dengan mencabut beberapa kekuatan yang dimilikinya KPK seperti hak penindakan dan hak penyadapan, termasuk dengan penarikan sejumlah besar penyidik yang berasal dari institusi lain. Tambahan lagi, pihak-pihak yang berposisi kontra gerakan antikorupsi tidak lain mereka yang memiliki modal dari sisi finansial maupun posisi strategis dalam eksekutif maupun legislatif.
Di satu pihak KPK bisa saja menghadapi kendala tersebut tanpa daya. Namun, di pihak lain KPK mendapat dukungan dan kepercayaan masyarakat luas yang gerah dan anti terhadap perilaku koruptif. Hampir seluruh institusi negara, tidak bebas dari korupsi. Sejak tahun 2004, KPK baru dapat telah menangani 332 kasus yang melibatkan anggota DPR, DPRD, pihak Kementerian, gubernur, bupati, duta besar, penegak hukum, pengusaha, dan latar berbagai latar belakang. Padahal, KPK telah menerima 55.964 laporan pengaduan masyarakat, termasuk dari warga negara Indonesia di luar negeri. Selain itu, KPK telah menyelamatkan keuangan negara di sektor minyak dan gas bumi mencapai Rp 152 triliun dalam kurun waktu 2009-2012, dan akibat pengalihan hak milik negara di 25 kementerian dan lembaga yang mencapai Rp 2 triliun.
Kehadiran KPK, efektifitas kinerjanya, dan yang terpenting independensinya sangat dibutuhkan bangsa ini. Independensi itu sangat erat dengan kemandirin KPK dalam mengelola Sumber Daya Manusia untuk bebas dari sejumlah conflict of interest. Kewenangan KPK hendaknya jangan ditambahkan lagi batasan-batasan. Kebijakan pemerintah terkait KPK jangan memperlemah KPK, legislatif jangan sampai mengobok-obok dengan berbagai dalih. Bagaimana pun, oknum-oknum di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif selalu kegerahan oleh sepak terjang KPK. Masyarakat luas perlu waspada terhadap tekanan dan upaya pelemahan KPK baik yang sistematis melalui politik maupun kebijakan. Partai yang mempersulit posisi KPK harus ditinggalkan dalam pemilu berikutnya. Tokoh atau pejabat yang melemahkan, meremehkan, atau memperdaya KPK harus diwaspadai. Siapa yang tidak pro KPK berarti anti KPK alias koruptor atau kroni koruptor. Bravo KPK. (Bernad Simamora, pengamat dan akademisi, tinggal di Bandung)