Kompleksnya hubungan antara pekerja/buruh dan pemberi kerja tidak dapat dielakkan bahwa sering kali terjadi perselisihan di dalamnya, hal ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan diantara keduanya. Menurut Pasal 1 Angka (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 mengatakan :“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Bagi pekerja/buruh, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berarti pekerja/buruh kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Oleh sebab itu, istilah PHK bisa menjadi momok bagi segiap pekerja/buruh karena mereka dan keluarganya terancam kelangsungan hidupnya dan merasakan derita akibat dari PHK itu. Sehubungan dampak PHK sangat kompleks dan cenderung menimbulkan perselisihan, maka mekanisme dan prosedur PHK diatur sedemikian rupa agar pekerja/buruh tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan. UU Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa: “Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhimya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Sejatinya, berdasarkan ketentuan Pasal 151 UU Nomor 13 Tahun 2003, (PHK) oleh pengusaha harus memperoleh penetapan terlebih dahulu dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 152 sampai dengan Pasal 155 UU Nomor 13 Tahun 2003.
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 secara tegas diatur mengenai alasan dan kompensasi PHK. Pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerjanya tanpa adanya alasan yang sah. Kalaupun ada alasan yang sah untuk melakukan PHK maka terdapat kompensasi yang harus dibayarkan kepada pekerja. Kompensasi tersebut terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pergantian hak. Dengan demikian jika terjadi perselisihan PHK maka terdapat ketidaksepakatan antara pengusaha dan pekerja mengenai sah atau tidaknya alasan PHK maupun besarnya kompensasi atas PHK tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 136 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial termasuk perselisihan PHK harus terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Kata “antara pengusaha dan pekerja” bisa diartikan sebagai dua pihak yang di dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 disebut sebagai bipartite. Apabila penyelesaian secara bipartit tersebut tidak berhasil maka salah satu pihak harus mencatatkan perselisihan tersebut ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) di wilayah pekerja bekerja untuk lakukan penyelesaian perselisihan dengan bantuan dari pihak ketiga atau tripartit.
Apabila tidak juga ada kesepakatan maka sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Nomor 2 Tahun 2004, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang merupakan pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum. Atas putusan Pengadilan Hubungan Industrial tersebut salah satu pihak yang tidak menerima putusan PHI dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.
Upah Proses PHK
Upah proses merupakan upah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja selama proses perselisihan PHK berlangsung sampai dengan diterbitkannya penetapan dari lembaga perselisihan hubungan industrial. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut dinyatakan bahwa norma frase”belum ditetapkan”dalam Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap. Frase “tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap” dalam amar Putusan MK tersebut merupakan bentuk putusan yang bersifat mengatur dengan memberikan norma baru terhadap frase”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003. MK melalui putusannya tersebut telah melakukan penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum.
Sesuai dengan doktrin Sens Clair penemuan hukum yang dilakukan oleh Majelis Hakim Konstitusi atas peraturan yang sudah ada tetapi belum jelas. Baik UU Nomor 13 Tahun 2003 maupun UU Nomor 2 Tahun 2004 telah mengatur mengenai upah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja selama proses PHK, namun kedua UU tersebut maupun peraturan pelaksanaannya tidak mengatur secara jelas mengenai sampai kapan upah proses tersebut harus dibayarkan.
Dengan demikian menurut Putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011, upah proses harus dibayarkan sampai dengan ada putusan PHI atau putusan kasasi jika atas putusan tersebut ada upaya hukum kasasi.
Disimpulkan, sebagai bentuk perlindungan hukum bagi pekerja yang di-PHK oleh pengusaha, maka UU Nomor 13 Tahun 2003 memberikan hak-hak pekerja yang harus dipenuhi oleh pengusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 156 UU Nomor 13 Tahun 2003, serta upaya penegakannya melalui penyelesaian perselisihan secara bipartit, mediasi atau konsiliasi, dan upaya terakhir adalah melalui proses litigasi di Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004. Putusan hakim yang berbeda-beda dalam praktek peradilan mengenai upah proses, seharusnya didasarkan atas Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 tahun 2003 dan putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011, yakni ”upah proses harus dibayarkan pengusaha hingga perkara memperoleh kekuatan hukum tetap”.