Beranda Artikel Gugatan Intervensi Dalam Perkara Perdata

Gugatan Intervensi Dalam Perkara Perdata

0

Interaksi sosial antara sesama manusia adakalanya menyebabkan konflik, dimana masing-masing pihak mempertahankan haknya dari pihak lainnya, atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan kewajibannya. Menurut Sudikno Mertokusumo, di dalam kehidupan bersama atau masyarakat konflik itu tidak dapat dihindarkan.

Dalam menyelesaikan konflik secara hukum haruslah dilakukan sesuai ketentuan hukum, ini agar tercapai keadilan bagi masing-masing pihak. Menurut Sudikno Mertokusumo, tindakan mempertahankan hak diatur dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Hukum acara perdata inilah yang memberikan sarana untuk setiap orang yang merasa mempunyai hak dan ingin mempertahankan haknya dengan pengajuan gugatan ke pengadilan.

Gugatan adalah upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh penggugat melalui putusan pengadilan. Adanya gugatan minimal terdapat dua pihak yang bersengketa, yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat, akan tetapi ada kalanya dalam suatu gugatan terdapat tiga pihak yang berperan yaitu pihak penggugat, tergugat dan pihak ketiga. Abdul Kadir Muhammad menjelaskan, sering terjadi pihak ketiga melakkukan gugatan insidentil terhadap perkara yang sedang diperiksa di pengadilan yang memang dirasakan sangat dibutuhkan. Ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri, maupun karena ditarik masuk oleh salah satu pihak untuk ikut menanggung dalam pemeriksaan sengketa perdata disebut dengan intervensi. Ikut sertanya pihak ketiga (intervensi) dalam sengketa perdata diatur dalam Reglement Rechtsvordering dalam pasal 279 sampai dengan pasal 282 Reglement Rechtsvordering. Menurut Reglement Rechtsvordering (atau RV), terdapat dua macam bentuk intervensi, yaitu:

  1. Intervensi yang merupakan inisiatif sendiri dari pihak ketiga dalam pemeriksaan perkara perdata
  2. Voeging, yaitu ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri dalam pemeriksaan sengketa perdata untuk membela salah satu pihak penggugat atau tergugat (Pasal 279 Reglement Rechtvordering (RV)). Biasanya pihak ketiga tersebut menggabungkan diri dengan pihak tergugat.
  3. Tussenkomst, yaitu ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri dalam pemeriksaan sengketa perdata, akan tetapi tidak memihak salah satu pihak baik penggugat atau tergugat tetapi demi membela kepentingannya sendiri (Pasal 282 Reglement Rechtvordering (RV)). Dengan demikian intervensi disini berhadapan dengan penggugat dan tergugat asal sekaligus.
  4. Intervensi yang terjadi karena adanya pihak ketiga yang ditarik masuk oleh salah satu pihak yang berperkara yaitu Vrijwaring atau penjaminan, yaitu ikut sertanya pihak ketiga dalam pemeriksaan sengketa perdata karena ditarik oleh salah satu pihak untuk ikut menanggungnya. Vrijwaring diatur dalam pasal 70 sampai pasal 76 Reglement Rechtvordering (RV).

Jadi, untuk lebih dapat melindungi kepentingannya, yang secara tidak langsung dapat terpengaruh oleh putusan pengadilan, maka pihak ketiga disini lebih memilih untuk ikut berperkara langsung dan melibatkan diri dalam proses pemeriksaan perkara.

Menurut R. Soeroso, proses pemeriksaan perkara dimulai dari tahap pengajuan gugatan, gugatan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang. Pengajuan tersebut dapat diajukan secara tertulis atau lisan. Setelah itu Penggugat membayar biaya perkara. Perkara tersebut diperiksa oleh Panitera, apabila sudah lengkap persyaratannya lalu didaftarkan dalam buku register perkara dan memberi nomor perkara. Setelah itu gugatan akan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri. Kemudian ketua pengadilan menetapkan majelis hakim yang terdiri dari hakim ketua dan hakim anggota. Kemudian hakim tunggal memeriksa perkara tersebut (pemeriksaan pendahuluan atau dismissal process), apabila perkara ditolak maka hakim akan menetapkan untuk mencoret register perkara tersebut, namun apabila perkara diterima maka akan ditetapkan hari sidang dan yang kemudian akan dilakukan pemanggilan para pihak, pemanggilan tersebut sekaligus perintah kepada para pihak melalui surat resmi yang disampaikan melalui jurusita tentang jadual dan tempat persidangan perkaranya.

Perintah pemanggilan untuk memanggil para pihak dilakukan ketua majelis hakim kepada jurusita, hal ini berdasarkan Pasal 121-122 H.I.R. atau Pasal 145-146 RBg. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa perintah memanggil dilakukan oleh ketua majelis hakim dan dilaksanakan oleh jurusita, cara pemanggilan yang patut menurut Pasal 122 H.I.R. atau Pasal 146 RBg adalah tenggang waktu antara hari memanggil dengan hari persidangan harus sekurang–kurangnya tiga hari kerja. Jika pemanggilan tidak dilakukan dengan cara tersebut, maka pemanggilan dianggap tidak patut dengan risiko pemanggilan harus diulangi.

Setelah gugatan didaftarkan dan para pihak telah dipanggil dengan patut, maka persidangan dimulai dengan persidangan pertama. Pada persidangan pertama ini, agenda secara umum dalam perkara gugatan adalah penasihatan (mengenai formil gugtaan dan juga kemungkinan menempuh jalan damai dalam menyelesaikan perkara).

Jika penggugat dan tergugat hadir di persidangan maka majelis hakim berupaya mendamaikan kedua belah pihak (mediasi) hal ini tercantum dalam Pasal 130 H.I.R. atau Pasal 154 RBg. Dalam keadaan dimana tergugat tidak hadir maka tergugat dipanggil sekali lagi sesuai dengan maksud Pasal 126 H.I.R. atau Pasal 150 RBg. Jika telah dipanggil kedua kalinya dan tergugat tetap tidak hadir maka persidangan dilanjutkan ke pemeriksaan pokok perkara.

Apabila upaya mediasi tercapai maka hakim akan memutuskan putusan akta perdamaian. Setelah dijatuhkannya putusan akta perdamaian maka tidak ada lagi upaya hukum atas perkara itu. Namun apabila upaya mediasi tersebut tidak tercapai maka proses selanjutnya ialah pembacaan gugatan dan jawaban gugatan. Pada tahap inilah dapat diajukan pengajuan permohonan gugatan intervensi. Gugatan intervensi merupakan suatu perbuatan hukum oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung.

Pihak intervensi tersebut dapat berperan sebagai penggugat intervensi ataupun sebagai tergugat intervensi. Perlu diingat bahwa pengajuan permohonan gugatan intervensi harus diajukan sebelum pembuktian, setelah diajukan maka pengadilan memeriksa isi gugatan tersebut, apakah pihak ketiga dalam intervensi (intervenien) termasuk dalam :

  1. Voeging

Voeging adalah masuknya pihak ketiga dalam pemeriksaan perkara dengan mendukung salah satu pihak, yaitu penggugat atau tergugat. Masuknya pihak ketiga merupakan keinginan dari pihak ketiga sendiri. Pihak siapa yang didukung oleh pihak ketiga bergantung pada kepentingan dari pihak ketiga atas objek perkara. Agar pihak ketiga dapat diterima sebagai pihak melalui intervensi secara voeging, maka setidaknya harus memenuhi syarat berikut:

  1. Permintaan masuk sebagai pihak berisi tuntutan hak tertentu
  2. Adanya kepentingan hukum langsung dari pihak ketiga yang ingin dilindungi dengan mendukung salah satu pihak berperkara
  3. Kepentingan tersebut harus memiliki keterkaitan dengan pokok perkara yang sedang diperiksa.
  4. Vrijwaring

Vrijwaring adalah masuknya pihak ketiga kedalam pemeriksaan perkara karena ditarik oleh salah satu pihak yang sedang berperkara (tergugat). Fungsi ditariknya pihak ketiga sebagai pihak berperkara adalah sebagai penjamin bagi pihak tergugat. Tujuan utama vrijwaring adalah untuk membebaskan tergugat pihak yang menariknya (tergugat) dari kemungkinan akibat putusan atas pokok perkara. Tergugat dalam jawaban atau dupliknya dapat mengajukan permohonan kepada majelis hakim agar pihak ketiga ditarik sebagai pihak dalam pemeriksaan pokok perkara. Karakteristik vrijwaring :

  1. Esensinya merupakan penggabungan tuntutan
  2. Salah satu pihak yang bersengketa, dalam hal ini tergugat, menarik pihak ketiga ke dalam sengketa yang sedang dihadapi
  3. Keikutsertaan pihak ketiga timbul karena paksaan bukan karena inisiatifnya sendiri.
  4. Tussenkomst

Menutur Boom Jurisdisch, Tussenkomst adalah masuknya pihak ketiga atas inisiatifnya sendiri dalam pemeriksaan perkara guna memperjuangkan hak–haknya. Pada tussenkomst ini, intervenien masuk sebagai pihak sendiri berhadapan dengan penggugat dan tergugat. Persyaratan utama tussenkomst adalah pihak ketiga yang ingin masuk sebagai pihak dalam perkara yang sedang berlangsung harus memiliki hubungan yang erat dengan pokok perkara. Hubungan langsung di sini diartikan dalam konteks adanya hubungan hukum antara pihak ketiga dengan para pihak berperkara atau karena objek perkara memiliki kaitan langsung dengan kepengtingan hukumnya yang perlu dilindungi.

Setelah itu proses dilanjutkan dengan acara perundingan para pihak yang berperkara sebelum diajukannya permohonan gugatan intervensi tersebut, setelah perundingan tersebut selesai, hakim akan menjatuhkan putusan sela (atau tussen vonis) yang dapat berupa diterimanya permohonan gugatan intervensi, diterimanya permohonanan gugatan intervensi tersebut memiliki dua pilihan yaitu apakah penggugat intervensi membela diri sendiri atau membela orang lain (dalam hal ini tergugat).

Apabila penggugat intervensi mengajukan permohonan gugatan intervensinya untuk membela dirinya maka penggugat intervensi akan mengajukan dalil-dalil gugatannya dan mengajukan bukti untuk memperkuat gugatannya dipersidangan, namun apabila ia mengajukan permohonan gugatan intervensi tersebut guna membantu orang lain (tergugat) maka penggugat intervensi akan membantu tergugat untuk menjawab gugatan dari penggugat serta penggugat intervensi juga dapat mengajukan bukti guna memperkuat tergugat. Namun jika permohonan gugatan intervensi ditolak, maka penolakan tersebut dapat terjadi karena subjek dan objek perkara dianggap tidak bersangkutan dengan perkara yang dipersidangkan dan setelah itu persidangan dilanjutkan ke pembuktian gugatan sebelumnya.

Apabila tidak ada upaya intervensi dari pihak lain maka acara pembacaan gugatan dan jawaban gugatan dilanjutkan dengan proses pembuktian.

Mengenai pemeriksaan suatu perkara yang objeknya benda (zaaken) khususnya benda tidak bergerak, meskipun dalam pembuktian di persidangan telah tergambar adanya objek dalam gugatan dimaksud benar adanya namun hakim merasa masih belum mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan lengkap mengenai objek tersebut. Setelah itu maka proses persidangan dilanjutkan dengan acara pemeriksaan setempat. Menurut M. Yahya Harahap, Pemeriksaan setempat adalah sidang pengadilan yang dilakukan di tempat objek perkara terletak guna melihat keadaan atau memeriksa secara langsung objek tersebut dengan dipimpin oleh salah seorang atau lebih anggota majelis hakim dan dibantu oleh panitera pengganti yang mencatat peristiwa-peristiwa selama berlangsungnya pemeriksaan setempat tersebut. Ketentuan mengenai pemeriksaan setempat diatur dalam Pasal 153 H.I.R., Pasal 180 RBg, dan Pasal 211-214 Rv.

Proses selanjutnya ialah penyitaan, penyitaan (beslaag) merupakan tindakan menyita barang-barang milik / atau yang dikuasai tergugat guna menjaga agar barang–barang yang disita tersebut tidak dipindahtangankan secara melawan hak oleh tergugat maupun oleh pihak lain yang dapat merugikan kepentingan penggugat. Proses selanjutnya dilanjutkan pada kesimpulan, kesimpulan adalah penyampaian pandangan para pihak secara umum mengenai proses persidangan yang telah dijalankan, mulai dari tahap awal hingga penyitaan.

Kesimpulan disampaikan baik oleh penggugat maupun tergugat. Kesimpulan dapat disampaikan para pihak baik secara lisan maupun secara tertulis. Selanjutnya, setelah seluruh proses persidangan dilaksanakan maka majelis hakim akan melakukan musyawarah untuk tercapainya mufakat guna memutuskan hasil persidangan. Pelaksanaan musyawarah majelis tunduk pada ketentuan Pasal 178 H.I.R atau Pasal 189 RBg.

Setelah tercapainya mufakat maka majelis hakim membacakan putusan kepada para pihak, para pihak berperkara memiliki hak untuk berpikir dan mengambil tindakan apakah akan melakukan upaya hukum atau tidak. Tenggat waktu berpikir mengenai hal tersebut ialah 14 hari sejak putusan diucapkan (jika dihadiri oleh kedua belah pihak) atau 14 hari sejak pemberitahuan putusan diterima oleh pihak berperkara (jika salah satu pihak tidak hadir saat pembacaan putusan). Terhadap putusan dalam perkara gugatan (contentius), upaya hukumnya ialah banding ke Pengadilan Tinggi kemudian jika tidak puas dengan putusan banding dapat mengajukan upaya hukum kasasi.

Jadi, proses pemeriksaan perkara perdata pada gugatan intervensi dimulai dari diputuskannya putusan sela (tussen vonis) oleh hakim untuk memutuskan boleh atau tidaknya pihak ketiga untuk ikut berperkara dalam persidangan tersebut. Apabila ditolak maka penolakan tersebut dapat terjadi karena subjek dan objek perkara dianggap tidak bersangkutan dengan perkara yang dipersidangkan ataupun karena diterimanya gugatan tersebut dianggap menimbulkan pertentangan dengan asas dalam hukum acara perdata serta peraturan yang berlaku. Ditolaknya gugatan intervensi tersebut membuat acara persidangan dilanjutkan ke pembuktian gugatan sebelumnya. Namun apabila diterima, hakim akan memeriksa isi gugatan tersebut dan menentukan apakah gugatan tersebut termasuk voeging/vrijwaring/tussenkomst.

Perlu diingat bahwa pengajuan gugatan intervensi harus diajukan sebelum pembuktian. Setelah diterima gugatan intervensi tersebut, diadakanlah sidang pertama yang merupakan upaya mediasi. Apabila upaya mediasi tercapai maka akan ada putusan akta perdamaian, namun bila tidak tercapai suatu upaya mediasi maka acara persidangan dilanjutkan dengan eksepsi dari tergugat atas gugatan penggugat intervensi.

Proses berikutnya merupakan replik dan duplik yang dilanjutkan dengan pembuktian, penyitaan, dan kesimpulan. Dilanjutkan dengan musyawarah majelis untuk memutuskan perkara tersebut, setelah itu putusan dibacakan dan apabila ada pihak-pihak yang tidak menyanggupi atas putusan tersebut maka akan diberikan waktu untuk berpikir dan memprosesnya ke upaya hukum banding dan kasasi. Pengaturan mengenai intervensi dapat ditemukan dalam Rv (atau Reglement Rechtsvordering).

Semua pihak tentu berharap Majelis Hakim lebih teliti dalam memeriksa objek dan subjek dari gugatan perkara pokok maupun perkara intervensi yang diajukan sehingga tidak terjadi kekeliruan. Di sisi lain, dalam mengajukan gugatan intervensi, pihak ketiga membawa bukti yang memiliki kekuatan hukum sehingga bukti tersebut dapat memperkuat dalil-dalil yang diajukan dalam gugatan intervensi tersebut.

(Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.)