Undang-Undang (UU) No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satu UU yang terbanyak diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan penelusuran, sudah 33 kali UU Ketenagakerjaan diuji materi dan menempati urutan ke-7 diantara 10 UU terbanyak diuji sepanjang MK berdiri. Tentu saja, putusan MK terkait beberapa pengujian UU Ketenagakerjaan mengubah norma yang berlaku, terutama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun demikian, tidak ada putusan MK yang menghambat pemberi kerja (perusahaan) untuk melakukan PHK. Terpenting, pengusaha harus bisa membuktikan alasan PHK.
Sedikitnya ada 2 putusan MK mengenai pengujian UU Ketenagakerjaan yang menyinggung norma PHK. Pertama, putusan MK No.012/PUU-I/2003, salah satu amarnya menyatakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat. Norma Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, intinya membuka peluang pemberi kerja melakukan PHK dengan alasan buruh melakukan kesalahan berat. Dalam pertimbangannya, MK menilai kesalahan berat yang dimaksud ketentuan itu tanpa due process of law melalui putusan pengadilan. Namun, hanya melalui keputusan (sepihak) pengusaha yang didukung oleh bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara (pidana) yang berlaku.
MK melihat Pasal 160 UU Ketenagakerjaan mengatur berbeda, bahwa buruh yang ditahan pihak berwajib karena diduga melakukan pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Hingga bulan keenam buruh yang bersangkutan masih memperoleh sebagian haknya. Bila pengadilan menyatakan buruh tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali. Putusan MK itu bisa diartikan pengusaha tidak bisa serta merta (otomatis) melakukan PHK terhadap buruh sebelum ada putusan pengadilan pidana. Meski demikian, dalam praktiknya tidak sedikit buruh yang di-PHK karena diduga melakukan pidana (belum diputus bersalah oleh pengadilan).
Namun, jika perkara PHK ini berlabuh ke PHI, yang akan diuji dalam persidangan bukan soal perbuatan yang telah dilakukan apakah tergolong pidana atau bukan, melainkan prasyarat yang ada dalam hubungan kerja. Dan salah satu prasyarat dalam hubungan kerja adalah kedua pihak tidak boleh melakukan pelanggaran. Misalnya, buruh melakukan tindakan yang dikategorikan pelanggaran berat sebagaimana disebutkan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Untuk melakukan PHK, pengusaha tidak perlu menunggu terlebih dulu keluarnya putusan pidananya. Persoalannya, apakah kesalahan berat yang dilakukan pekerja itu dibenarkan atau tidak dalam konteks hubungan kerja? Dalam praktiknya ada PHK dengan alasan pekerja melakukan pelanggaran atau pidana.
Kedua, putusan MK No.19/PUU-IX/2011 yang menguji konstitusionalitas Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Ketentuan ini membolehkan pengusaha untuk melakukan PHK karena perusahaan melakukan efisiensi. Dalam pertimbangannya, MK berpendapat Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara jelas frasa “perusahaan tutup”. Akibatnya, norma ini kerap disalahgunakan perusahaan sesuai kepentingannya masing-masing. Misalnya, anggapan penutupan perusahaan sementara untuk melakukan renovasi merupakan bagian dari efisiensi dan bisa dijadikan alasan melakukan PHK.
Menurut MK, norma tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kelangsungan jaminan hak pekerjaan bagi buruh yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945. Untuk memberi kepastian hukum, MK menyatakan PHK dengan alasan efisiensi itu konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu. Putusan MK mengenai PHK dengan alasan efisiensi ini dalam praktiknya tidak bisa diterapkan pada seluruh kasus PHK. Perusahaan bisa saja melakukan PHK dengan alasan efisiensi. Meski MK mengartikan efisiensi itu bergulir setelah perusahaan tutup permanen. Tapi praktiknya tidak seperti itu.
Efisiensi biasanya dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman kerugian, perubahan strategi bisnis, atau dampak dari penerapan teknologi. Karena itu, putusan MK ini tidak menghalangi pemberi kerja untuk melakukan PHK dengan dalih efisiensi. PHK dengan alasan efisiensi bisa dilakukan perusahaan dan perusahaan harus memenuhi kewajiban membayar dua kali pesangon.
Mengacu dua putusan MK itu tidak menghalangi pengusaha untuk melakukan PHK, tetapi pengusaha harus mampu membuktikan alasan PHK, terutama jika perkara ini berproses di PHI.
Oleh Bernard Simamora, SH., S.IP., S.Si., MM