Gadget dan smartphone yang kini melanda negara kita, telah merasuk ke berbagai kalangan dan tingkat usia. Tidak heran lagi jika anak-anak ada yang memegang tablet, handphone canggih sambil rekreasi atau jalan-jalan. Memang, konsumsi gadget di negeri ini lebih seru dibanding di negara produsennya sendiri. Dan, perilaku masyarakat kita terhadap perangkat pun berubah.
Salah satu hobi baru masyakarat kita adalah “LEMBIRU”, alias yang lama diLEMpar lalu BEli yang baRU. Hal ini disebabkan, terutama oleh maraknya produk-produk keluaran China yang murah-meriah nan canggih meski life time-nya super singkat. Betapa tidak, perkembangan desain dan model yang sangat cepat mengkibatkan barang yang kuat dan tahan lama terasa cepat kuno.
Perilaku “LEMBIRU”, yang telah dibentuk “pasar”, awalnya memang terkait dengan produk elektronik khususnya yang sangat cepat berkembang atau berubah. Namun, saat ini perilaku LEMBIRU telah juga berlaku bagi barang-barang lainnya, seperti motor, mobil, rumah, dan sebagainya. Hal yang juga berpengaruh dominan terkait kondisi keuangan, atau kesempatan mendapatkannya. Bahkan seringkali perilaku LEMBIRU mengorbankan yang lebih pokok, seperti membeli makanan atau membayar biaya pendidikan terkalahkan oleh hasrat membeli smartphone terbaru. Bahkan disniyalir, salah satu pemicu maraknya korupsi, gratifikasi atau pungutan liar, sedikit banyak disebabkan oleh “godaan pasar” untuk konsumeristis.
Sejatinya perilaku LEMBIRU merupakan suatu sikap yang kurang bertanggungjawab, dimana usaha memperbaiki dan mengoptimalkan utilitas suatu barang tidak dilakukan. Disamping tidak ramah lingkungan, juga tidak ramah dompet atau rekening. Barang yang rusak seharusnya disahakan perbaikannya dulu, dan itupun mestinya berkali-kali. Bila sudah tidak bisa diperbaiki sendiri, atau tidak ada lagi bengkel yang sanggup memperbaiki, coba dulu tukar-tambah. Bila gagal juga, baru LEMBIRU. Bayangkan bila ada trouble kecil suami istri langsung LEMBIRU, maka akan sangat marak kawin-cerai, dan keluarga akan berantakan.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, tampaknya perilaku LEMBIRU mulai merasuki bangsa kita, yang juga harus kita hindari. Muncul berbagai bentuk pesimisme, sinisme, apatisme terhadap keadaan bangsa. Rakyat telah dirasuki kejenuhan berpolitik dan mengkuti pemilu, yang dianggap bak anjing menggonggong kafilah berlalu. Pilpres, Pileg, Pilgub, Pilwalkot, Pilbup atau Pilkader selalu saja terjadi dan berlangsung tetapi keadaan bagi rakyat tidak pernah lebih baik.
Kejenuhan terhadap Pemilu yang hasilnya serasa begitu-begitu saja alias jalan di tempat bahkan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang menjadi koruptor, membuat sebagian rakyat pesimis. Hasil Pemilu Presiden (pilpres) yang dianggap menghasilkan pemerintahan yang membuat negara berjalan secara otopilot, membuat banyak orang apatis terhadap pemilu yang akan segera berlangsung.
Rasa frustasi banyak orang telah tumbuh menyaksikan realitas otonomi daerah yang “cukup berhasil” mendudukkan raja-raja kecil di daerah yang menjauhkan harapan akan terciptanya pelayanan prima terhadap masyarakat. Otonomi daerah juga dianggap telah “menciptakan” kaum elitis dan kroni-kroni “mafia daerah”, yang menjauhkan harapan akan pemerataan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Masyarakat juga menyaksikan berbagai tontonan di media massa akan maraknya penyalahgunaan jabatan, menunggangi jabatan untuk kebutuhan politik atau uang, aksi pencitraan mendominiasi kegiatan para pemimpin di banding kerja nyata. Bahkan ada pejabat yang mengaku “kerja nyata” melalui kata-kata di berbagai baliho dan iklan di media massa. Mengomentari iklan ini seorang remaja menyindir, “Jangan ngomong sendiri! Mestinya rakyat yang ngomong”.
Selain itu, jelang Pemilu 9 April 2014 makin banyak aksi haus kekuasaan yang sangat memuakkan masyarakat. Sebutlah, maraknya banner caleg dan capre di pohon-pohon, di gedung-gedung, di jalan-jalan, ddan diberbagai yang mahkan tidak memperhatikan estitika. Begitupun adanya serangkaian iklan di televisi seolah-olah capres tertentu “akan menjadi malaikat penyelamat”. Ada pula iklan aksi “sangat me-rakyat” pasangat Capres-Cawapres tertentu yang mempertontonkan video “menggendong” rakyat jelata dan anak kecil untuk memvisualkan betapa “merakyatnya” dan betapa perhatiannya terhadap rakyat kecil. Seorang anak malah berkomentar, “Itu kan sinetron”.
Pesimisme sejumlah besar masyarakat atas tayangan-tayangan iklan politik, menyatu dengan carut marut kehidupan berbangsa dalam aspek ekonomi, hukum, politik, pendidikan; yang pada akhirnya menimbulkan apatisme politik yang mendalam. Maka jangan heran, sangat jarang seorang warga negara komplain karena namanya tidak ada dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap). Bahkan, sudah ada dalam DPT namun tidak tertarik menggunakan hak pilihnya. Kalaupun tertarik memilih, sebagian malah menunggu tawaran uang dari caleg atau kandidat dengan pertanyaan, “Wani piro?”.
Carut marut itu juga masih diperburuk oleh penanganan DPT oleh KPU (Komisi Peliihan Umum) dari dulu sampai hari ini yang belum juga maksimal. Itu juga, tidak terlepas dari pengadaat E-KTP (elektronics-KTP) baru-baru iini yang jauh dari berhasil.
Maka tantangan terbesar dalam Pemilu 9 April 2014 bagi negara ini adalah : (1) seberapa besar peran serta pemilih dalam menggunakan hak pilihnya, yaitu zero-golput, (2) seberapa besar tanggungjawab pemilih terhadap perbaikan bangsa ini melalui penggunaan hak pilih dengan benar, tanpa dipengaruhi pragmatisme sesaat seperti uang dan kedekatan terhadap kandidat, (3) seberapa jujur dan profesionalnya penyelenggara pemilu (KPU) dan pengawas pemilu (Bawaslu), dan para volunteer (relawan) pemilu, (4) Seberapa besar integritas para kandidat terhadap janji-janji kampanye dan sosialisasinya dengan praktenya nanti setelah menjabat.
Akhirnya, terselenggaranya Pemilu 2014 yang berkualitas dan dapat dipercaya, yang dapat memperbaiki kehidupan bernegara, merupakan tanggungjawab semua pihak, mulai dari masyarakat pemilih, penyelenggara, pengawas, independen, dan para kandidat terpilih untuk tidak menganut perilaku “LEMBIRU”. Semua pihak harus bersama-sama memperbaiki, memperbaiki, dan memperbaiki lagi perilaku berpolitiknya untuk memperbaiki bangsa ini. Bagaimana pun, satu-satunya cara yang konstitusional dan elegan membawa negara ini ke “bengkel perbaikan”, dengan kita semua sebagai teknisi atau mekaniknya, adalah Pemilihan Umum. Melalui Pemilu 2014 kita jadikan negara kita menjadi Indonesia Baru.
Bandung, 23 Februari 2014
Bernard Simamora