M Hernowo
Selain pemilihan umum, pemilihan kepala daerah menjadi tempat partai politik untuk berebut kekuasaan. Kemenangan dalam pemilihan kepala daerah banyak diyakini akan lebih memuluskan jalan menuju kemenangan dalam pemilihan umum.
Tidak mengherankan parpol umumnya berjuang habis-habisan untuk memenangkan calonnya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Fenomena ini, misalnya, terlihat pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur, Juli lalu. Untuk mendukung kemenangan calon yang didukungnya dalam pilkada terbesar di Indonesia dari jumlah pemilih ini, yaitu 29.045.722 orang, hampir seluruh pimpinan partai politik datang untuk berkampanye.
Bahkan, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, meski tidak ikut kampanye, menegaskan, susunan calon anggota legislatif partainya akan dievaluasi lewat Pilkada Jatim. Mereka yang sukses memenangkan calon yang diusung Partai Golkar di daerah pemilihan masing-masing akan direkomendasikan untuk dicalonkan lagi pada Pemilu 2009.
Sementara itu, sejumlah anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menyumbangkan media kampanye, seperti spanduk dan baliho, untuk calon mereka.
Partai Kebangkitan Bangsa sempat menjanjikan hadiah, dari sapi hingga mobil, bagi kadernya yang dapat memenangkan calon parpol itu di daerahnya masing-masing.
Hal yang hampir sama dilakukan parpol lain yang mengikuti Pilkada Jatim, seperti Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Fenomena ini tak hanya terjadi di Jatim, tetapi juga dalam pilkada di daerah lain, seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, bagi parpol mana pun, dapat memenangkan calon yang mereka usung tetap jauh lebih baik dibandingkan dengan kalah dalam pilkada.
Sebuah kekalahan dalam pilkada, terutama di daerah strategis, seperti yang memiliki banyak pemilih atau menjadi basis massa, dapat mengindikasikan sejumlah persoalan di parpol bersangkutan. Misalnya, tidak bekerjanya mesin parpol atau kegagalan mengelola kader.
Sedangkan sebuah kemenangan setidaknya akan meningkatkan rasa percaya diri parpol bersangkutan. Apalagi jika calon yang menang tersebut punya kinerja bagus, maka akan membantu meningkatkan citra parpol yang bersangkutan, setidaknya di daerah si calon.
Namun, kemenangan dalam pilkada belum menjamin parpol yang bersangkutan untuk meraih kemenangan selanjutnya di daerah yang sama, misalnya dalam pemilihan umum.
Sebab, seperti disampaikan Direktur Eksekutif Charta Politica Bima Arya Sugiarto, dukungan parpol dalam pilkada umumnya dilakukan secara koalisi. Koalisi ini pun sifatnya cenderung pragmatis dan bentuknya berbeda-beda di setiap daerah sehingga kadang sulit untuk menentukan parpol yang paling punya saham di suatu pemerintahan daerah.
Perhitungan penentuan saham ini semakin sulit dilakukan karena kemenangan dalam pilkada umumnya lebih ditentukan oleh unsur figur calon, bukan mesin parpol.
Lanjut Bima, meski calon yang didukung berkuasa di pemerintahan, belum tentu dia dapat leluasa memuluskan jalan parpol pengusung di daerahnya. Sebab, saat ini sudah ada ketentuan yang tegas tentang netralitas birokrasi. Pelanggaran terhadap aturan itu sering kali justru merusak citra parpol pengusung. Apalagi masyarakat Indonesia cenderung mudah bersimpati kepada mereka yang ditindas.
Seorang pemenang pilkada biasanya juga memiliki perhitungan politik sendiri ketika telah berkuasa. Ini terlihat, misalnya, meski didukung penuh oleh PDI-P dalam Pilkada DKI Jakarta 2002, Sutiyoso terlihat netral saat Pemilu 2004. Bahkan, di DKI Jakarta, pada Pemilu 2004 PDI-P kalah dari PKS.
Mardiyanto, yang didukung PDI-P saat pemilihan Gubernur Jawa Tengah tahun 2003, pada tahun 2007 juga menerima pinangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk duduk di Kabinet Indonesia Bersatu.
Tommy Legowo dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia menilai, mudahnya kepala daerah berpaling atau melupakan parpol pendukungnya ini disebabkan belum ada pola hubungan yang jelas antara parpol dan kepala daerah yang mereka usung. Ini terjadi karena bahkan sejak pendaftaran calon itu diterima Komisi Pemilihan Umum daerah, parpol sering kali tidak lagi maksimal mendukung atau mengawasi kerjanya.
Kalaupun masih ada hubungan antara parpol pengusung dan kepala daerah yang diusung, itu umumnya masih bersifat seremonial, misalnya diundang menghadiri acara parpol. Padahal, hubungan ini idealnya juga tercermin pada fungsi-fungsi pemerintahan, misalnya parpol aktif mengontrol kinerja kepala daerah yang mereka usung di daerahnya masing-masing,
Keadaan ini terjadi, lanjut Tommy, karena (sebagian besar) calon yang diusung dalam pilkada bukan orang yang sejak awal dibesarkan parpol. Calon itu umumnya orang yang sudah jadi. Dia hanya bertemu dan berhubungan dengan parpol karena kepentingan sesaat, yaitu pilkada. Calon butuh kendaraan untuk mengikuti pilkada, sedangkan parpol butuh dana dan momentum untuk mengorganisasi massanya.
”Kondisi ini juga mencerminkan ketidaksiapan parpol untuk mengikuti pilkada, terutama terkait pengadaan kader. Sebab, jika yang bertarung dalam pilkada betul-betul kader parpol, kondisi ini dapat dikurangi,” tutur Tommy.
Dalam kondisi seperti ini, menurut Bima, kesuksesan sebuah parpol dalam pilkada tak cukup hanya dilihat dari kemenangan calon yang mereka usung. Parpol juga dapat dinilai berhasil jika dapat memanfaatkan pilkada sebagai tempat untuk memanaskan mesin atau mengukur kekuatannya di daerah.
Dalam konteks ini, meski kalah dalam Pilkada DKI Jakarta 2007, tidak mengherankan jika PKS banyak disebut sebagai partai politik yang paling diuntungkan dalam peristiwa itu. Sebab, PKS berhasil memanfaatkan momentum itu untuk memanaskan mesinnya.
Ukuran selain menang dalam pilkada ini dibutuhkan, lanjut Bima, karena kemenangan parpol pada Pemilu 2009 di daerah tidak lebih ditentukan oleh keberhasilan mereka memenangi pilkada. Namun, apakah parpol itu memiliki figur lokal yang mengakar atau dikenal dan pemahaman terhadap isu-isu lokal yang berkembang di daerah bersangkutan.
Kemenangan parpol di daerah juga akan ditentukan oleh kemampuan mereka untuk berkampanye secara bergerilya, mendatangi kelompok-kelompok kecil di daerah itu. Bentuk kampanye seperti itu diyakini jauh lebih efektif menarik pemilih dibandingkan dengan rapat umum yang diisi berbagai hiburan.
SUMBER : Kompas