Penegakan hukum, bagaimana pun, tidak terlepas dari uang, politik (kepentingan, kekuasaan), dan kedekatan. Intinya, penegakan hukum dan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) masih merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, paling tidak untuk progres dalam penegakan hukum sejauh ini. Masih relevan dikilas balik statement Prof. Dr. Muladi sesaat setelah dilantik menjadi Menteri Kehakimam menyatakan akan memberantas mafia peradilan. Saat itu, Muladi masih seorang politikus Golkar dari kampus UGM yang melihatnya dari kaca mata akademik.
Muladi, menurut saya, beberapa saat setelah menjabat menteri, “kaget” bahwa academic advantage-nya tidak ampuh pada tataran paktik penegakan hukum. Betapa kompleks penegakan hukum di negeri ini.
Dengan kacamata akademik, rasanya kecil kemungkinan seorang Nurdin Khalid, tersangka korupsi besar-besaran dapat divonis bebas. Seorang Eka Santosa, baru bisa diseret ke meja pengadilan setelah “taringnya” copot sebagai ketua DPRD Jabar dalam kasus Kaveling-Gate. Mantan Jabar-1 HR Nuriana setelah melepas “kekebalan” menjadi mantan Gubernur baru dipanggil pengadilan dalam kasus yang sama, dan masih saja “sanggup” menghindar dengan jalan-jalan ke mancanegara. Dalam kasus TPAS Lewigajah, Pemerintah Provinsi Jabar, Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi dan PD Kebersihan, masih memandang sebelah mata mengenai tanggung jawab hukum institusi masing-masing terhadap korban longsor. Politikus kawakan Akbar Tanjung, sampai “masa redupnya” pun masih menjadi seorang untouchable atas tuduhan korupsi yang bahkan telah divonis bersalah kala itu. Menyusul saat-saat ini kasus Munir dan TPF Munir berhadapan dengan Hendropriyono yang “orang kuat” itu. Pendeknya, penegakan hukum masih sangat pandang bulu, dan mengambang.
Suap, adalah bentuk-bentuk upaya di dalam mencoreng wajah penegakan hukum. Dan sering kali kata “suap” diartikan secara sempit sebagai sogokan berupa uang untuk menggokan kepentingan, misalnya : vonis bebas, pengurangan hukuman, dll. Nyatanya, suap, sekalipun hampir selalu bisa “diuangkan”, tetapi bentuknya sangat beraneka ragam. Sebutlah konsesi politik; bisa berupa hutang politik masa lalu atau menjadi tagihan politik di masa depan. Konsesi bisnis; berupa dana bantuan atau sponsorial dalam pencapaian tujuan-tujuan politik atau kekuasaan, baik di masa lalu maupun untuk masa depan. Konsesi kedekatan, dimana unsur kenal, pernah bekerja sama atau pernah menjadi mitra kerja, atasan, bawahan dari para petinggi atau aparat penegak jukum itu sendiri. Dan masih banyak bentuk-bentuk lain.
Pantur Silaban, PhD seorang profesor fisika di ITB (Institut Teknologi Bandung) pernah mengatakan “Empat orang alumi fakultas hukum yang sama, lulus dengan dosen pembimbing yang sama, tetapi kemudian masing-masing berkarir sebagai Jaksa, Hakim, Pengacara dan Dosen; akan jarang sekali mempunyai pendapat hukum sama atas kasus yang sama”. Dari sisi ini, penegakan hukum menjadi soal persepsi, yang akan meramaikan unsur kepentingan, uang, kekuasaan, dan unsur kedekatan. Bahkan ketiga unsur terakhir, yang kemudian bisa disimpulkan sebagai “suap”, malah cenderung mampu menggeser (baca : merekayasa) persepsi praktisi hukum dalam praktek penegakan hukum.
“Maju tak gentar membela yang bayar” bukan predikat yang dinobatkan atas praktisi hukum yang “membentuk” mafia peradilan semata-mata soal suap yang adalah uang. Lebih jauh adalah soal politik. Pressure politik dari sisi mana yang lebih kuat, maka penegakan hukum akan membelakangi sisi itu dan mengarah ke sisi sebaliknya. Adapun pemberantasan korupsi saat ini kelihatan cukup seru, jangan lupa, hal itu atas tekanan politis rakyat yang memilih pemimpinnya saat ini. Toh, dengan tekanan politis dari rakyat yang demikian masih tampak panggung-panggung sandiwara dalam beberapa kasus seperi Nurdin Khalid dan yang lain. Bagaimana jika penegakan hukum tanpa tekanan publik, tentu tekanan politis dari para politisi (kekuasaan) menjadi dominan, dan penegakan hukum akan meninggalkan mereka.
Maka, kita jangan pernah lengah untuk terus mengadakan “tekanan”, agar penegakan hukum tidak pandang bulu, tidak dapat dipolarisasi “Suap”. Dan, para praktisi hukum lagi menyandang predikat : maju tak gentar membela yang bayar. (A1)
Oleh Bernard Simamora, , Tajuk Koran Pelita Indonesia 17 Juni 2005